SUMBER |
A. Dasar Pemikiran Inovasi Kurikulum
Indonesia sebagai suatu negara berkembang telah dan terus melakukan upaya-upaya pembaruan (inovasi) pendidikan, khususnya dalam bidang kurikulum dan pembelajaran. Sejak kurikulum 1975 sampai kurikulum 2004 berbagai inovasi telah dilakukan, baik dalam komponen tujuan, isi/materi, proses maupun evaluasi. Inovasi tersebut antara lain dari kurikulum yang berorientasi kepada tujuan (goal oriented) menjadi kurikulum yang berorientasi pada kompetensi, dari subject-centered curriculum menjadi broad-field curriculum, dari pembelajaran yang bersifat teacher-centered menjadi child-centered dengan menggunakan pendekatan Student’s Active Learning (SAL) atau di Indonesia dikenal dengan istilah CBSA, sistem pengajaran pamong, sistem belajar jarak jauh, pengembangan keterampilan proses, pengembangan life skills, perubahan sistem peniilaian dari yang hanya paper and pencil test menjadi classroom-based assessment dengan salah satu tekniknya adalah portfolio, dan tentu masih banyak lagi bentuk-bentuk inovasi lain. (Arifin, 2011, p. 293)
Berdasarkan hasil pengamatan, maka dapat disimpulkan bahwa inovasi kurikulum di Indonesia cenderung bersifat formal dengan menggunakan pendekatan top-down. Artinya, inovasi kurikulum tersebut dirancang dan ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional di tingkat pusat, kemudian secara bertahap dan berjenjang disebarluaskan ke bawah melalui Kantor Wilayah/Dinas Pendidikan, baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai akhirnya ke guru-guru di sekolah, dengan harapan agar dapat diterima dan dilaksanakan sesuai dengan kebijakan pusat. Dalam inovasi kurikulum tertentu ada kecenderungan hanya memindahkan inovasi kurikulum dari berbagai negara yang sudah maju. Walaupun sebenarnya telah dilakukan penyesuaian-penyesuaian di sana-sini berdasarkan karakteristik daerah, kultur, lingkungan, dan sistem pendidikan di Indonesia. (Arifin, 2011, p. 294)
B. Konsep Inovasi dan Strategi Inovasi
Dikemukakan oleh Rogers sebagaimana dikutip oleh Arifin (2011:294) bahwa inovasi adalah “ide, praktik atau objek yang dianggap baru oleh individu atau unit penerima lainnya”. Begitu juga Miles (Arifin, 2011, p. 294) mengatakan, “inovasi adalah sesuatu yang disengaja, baru, perubahan khusus yang dianggap lebih manjur untuk mewujudkan tujuan dari sebuah sistem.” Dalam kamus Xford dijelaskan bahwa inovasi adalah “memperkenalkan sesuatu yang baru atau perubahan dari apa yang ada sekarang, praktik baru atau perubahan terhadap metode yang telah ada”. Sementara itu, Centre for Educational Research and Innovation mengemukakan, “inovasi adalah usaha-usaha melakukan perubahan dalam sistem pendidikan yang sadar dan terarah dilakukan untuk memperbaiki sistem yang ada.” Inovasi tidak selalu harus sesuatu yang baru, tetapi sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya, dan kebaikan itu dapat ditunjukkan. Selanjutnya, Noel dalam Nichols mengemukan “inovasi adalah suatu perubahan dalam salah satu komponen sistem sistem pendidikan yang bertujuan memperbaiki memperbaiki aspek-aspek tertentu dalam sistem sebagai suatu keseluruhan.”
Menurut Sanjaya (2011 :317) Inovasi dapat diartikan sebagai sesuatu yang baru dalam situasi sosial teretntu yang digunakan untuk menjawab atau memecahkan sesuatu permasalahan. Dilihat dari bentuk atau wujudnya “sesuatu yang baru” itu dapat berupa ide, gagasan, benda atau mungkin tindakan. Sedangkan dilihat dari maknanya, sesuatu yang baru itu bisa benar-benar baru yang belum tercipta sebelumnya yang kemudian disebut dengan invantion, atau dapat juga tidak benar-benar baru sebab sebelumnya sudah ada dalam konteks sosial yang lain yang kemudian disebut dengan istilah discovery. Proses invantion, misalkan penerapan metode atau pendekatan pembelajaran yang benar-benar baru dan belum dilaksanakan di mana pun untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran, contohnya berdasarkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kita dapat mendesain pembelajaran melalui Hand Phone yang selama ini belum ada; sedangkan proses discovery, misalkan penggunaan model pembelajaran inkuiri dalam pelajaran IPA di Indonesia untuk meningkatkan kualitas pembelajaran mata pelajaran tersebut, yang sebenarnya model pembelajaran tersebut sudah dilaksanakan di negara-negara lain, atau pembelajaran melalui jaringan internet. Jadi dengan demikian inovasi itu dapat terjadi melalui proses invention atau melalui proses discovery.
Dalam bidang pendidikan, inovasi biasanya muncul dari adanya keresahan pihak-pihak tertentu tentang penyelenggaraan pendidikan. Misalkan, keresahan guru tentang pelaksanaan proses belajar mengajar yang dianggpanya kurang berhasil, keresahan pihak administrator pendidikan tentang kinerja guru, atau mungkin keresahan masyarakat terhadap kinerja dan hasil bahkan sistem pendidikan. Keresahan-keresahan itu pada akhirnya membentuk permasalahan-permasalahan yang menuntut penanganan dengan segera. Upaya untuk memecahkan masalah itulah muncul gagasan dan ide-ide baru sebagai suatu inovasi. Dengan demikian, maka dapat kita katakana bahwa inovasi itu ada karena adanya masalah yang dirasakan; hampir tidak mungkin inovasi muncul tanpa adanya masalah yang dirasakan. (Sanjaya, 2011, p. 318)
Berbicara tentang inovasi (pembaruan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru sebagai hasil karya manusia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya sudah ada sebelumnya). Dengan demikian, inovasi berarti usaha menemukan sesuatu yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (upaya) invention dan discovery. Inovasi dapat juga diartikan sebagai suatu upaya yang secara sengaja dilakukan untuk membuat hal yang baru, yang secara kualitatif berbeda dari sebelumnya untuk mencapai tujuan tertentu. Sementara itu, Ibrahim dalam Subandiyah sebagaimana dikutip oleh Arifin (2011:295) mengemukakan, “inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah.”
Sesuatu yang baru belum tentu baru menurut orang lain, tetapi paling tidak kita dapat melihatnya dari segi “sifatnya” yang baru, yaitu secara kualitatif berbeda dengan sebelumnya. Kata “kualitatif” berarti menunjukkan pembaruan itu memungkinkan adanya reorganisasi atau pengaturan kembali unsur-unsur kurikulum. Inovasi bukan semata-mata penjumlahan atau penambahan unsur-unsur setiap komponen kurikulum. Tindakan mengatur kembali jenis dan struktur kurikulum, standar isi dan waktu, metode penyampaian materi, dan sistem penilaian untuk mencapai kualitas yang lebih baik merupakan tindakan konkret inovasi kurikulum. (Arifin, 2011, p. 295)
Pada dasarnya, inovasi kurikulum berkenaan dengan inovasi terhadap sistem kurikulum itu sendiri. Fokus inovasi adalah ide atau rangkaian ide. Inovasi yang karena sifatnya tetap bercorak mental, sedangkan inovasi yang lain harus memperoleh bentuk yang nyata. Inovasi kurikulum harus dilakukan secara sengaja dan terencana, dalam arti bukan faktor kebetulan atau sekedar hobi. Hal ini penting untuk dipahami, karena dampak inovasi kurikulum menyangkut hajat orang banyak. Jadi, kalau dilakukan hanya sekadar “iseng”, maka jangan berharap hasilnya akan sesuai dengan yang diharapkan. Memang hasil inovasi kurikulum tidak selamanya baik, bahkan bisa jadi sebaliknya, tetapi bagaimanapun suatu inovasi harus dilakukan dengan cara-cara ilmiah. Dengan demikian, apa yang semula dianggap sebagai inovasi, setelah diuji baik teori maupun praktik, bisa saja tidak dianggap lagi sebagai inovasi. (Arifin, 2011, p. 295)
Usaha pembaharuan (inovasi) kurikulum adalah sesuatu yang menimbulkan antusiasme dan merupakan pandangan yang tajam serta motivasi yang kuat dalam usaha menghasilkan kurikulum yang baik. Perumusan tujuan yang tepat dan rinci dalam bentuk tingkah laku yang akan dicapai adalah pekerjaan yang sulit dan membutuhkan keahlian yang khusus. (Hamalik, 1990, p. 79)
Sikap antusias dalam usaha pembaharuan kurikulum merupakan karakteristik yang diperlukan bagi orang-orang yang bekerja dalam bidang kurikulum. Guru-guru yang tidak senada dengan kegiatan-kegiatan dalam langkah-langkah tersebut di atas banyak yang menentang pendekatan pembahasan kurikulum secara klasikal. Mungkin perlu juga dipertimbangkan beberapa alasan dari sikap semacam itu. Perubahan kurikulum didasarkan atas ketidakpuasan terhadap silabus dalam kurikulum yang hanya terdiri dari fakta-fakta. (Hamalik, 1990, p. 80)
Metode klasik dalam pembaharuan kurikulum sebagaimana digambarkan pada bagian terdahulu meliputi tiga langkah, yakni: pertama perumusan tujuan, kemudian merencanakan pengalaman belajar, dan terakhir mengadakan evaluasi. (Hamalik, 1990, p. 80)
C. Definisi Inovasi Kurikulum
Merujuk kepada penjelasan sebelumnya, maka inovasi kurikulum dapat diartikan sebagai suatu ide, gagasan atau tindakan-tindakan tertentu dalam bidang kurikulum yang dianggap baru untuk memecahkan masalah pendidikan. (Sanjaya, 2011, p. 317)
Senada dengan Sanjaya, definisi pembaharuan (inovasi) menurut MKDP (2011:220) dapat diartikan sebagai inovasi atau pembaharuan dengan ditandai oleh adanya hal yang baru. Upaya untuk mencari hal yang baru itu, mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi seseorang atau kelompok. Dengan demikian, suatu ide atau temuan yang baru atau perubahan baru, tetapi kurang membawa dampak kepada upaya pemecahan masalah, tidak dapat diklasifikasikan sebagai inovasi (pembaharuan). Inovasi (pembaharuan) sebagai suatu ide, gagasan, praktik atau objek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok orang untuk ditiru atau diadopsi.
Pembaharuan (inovasi) pada dasarnya merupakan hasil pemikiran yang bercirikan hal baru, baik berupa praktik-praktik tertentu, atau berupa produk dari suatu hasil olah pikir dan olah teknologi yang diterapkan melalui tahapan tertentu yang diyakini dan dimaksudkan untuk memecahkan persoalan yang timbul dan memperbaiki suatu keadaan menjadi lebih baik. (MKDP, 2011, p. 220)
Menurut (MKDP, 2011, p. 2), istilah kurikulum (curriculum) berasal dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu), dan pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga. Pada saat itu kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus di tempuh oleh seorang pelari dari mulai start sampai finish untuk memperoleh medali atau penghargaan. Kemudian, pengertian tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah. Dari pengertian di atas setidaknya dalam kurikulum terkandung dua hal pokok, yaitu: (1) adanya mata pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, dan (2) tujuan utamanya yaitu untuk memperoleh ijazah. Dengan demikian, implikasinya terhadap praktik pengajaran, yaitu setiap siswa harus menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan dan menempatkan guru dalam posisi yang sangat penting dan menentukan.
Jadi, inovasi kurikulum adalah usaha melakukan pembaharuan sistem kurikulum untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
D. Tujuan Inovasi Kurikulum dan Ciri-Ciri
Tujuan inovasi kurikulum menurut Arifin (2011 :296), antara lain : (a) lebih meratanya kesempatan belajar, (b) adanya keserasian antara kegiatan pembelajaran dengan tujuan kurikulum, (c) implementasi kurikulum menjadi lebih efisien dan efektif, d) menghargai kebudayaan lokal/daerah, (e) tumbuhnya sikap, minat, dan motivasi belajar peserta didik, (f) tersebarnya paket kurikulum yang menarik dan menyenangkan semua pihak, mudah dicerna, mudah diperoleh, dan (g) terpenuhinya kebutuhan tenaga terdidik dan terlatih yang bermutu.
Adapun ciri-ciri utama suatu inovasi, yaitu : (a) adanya sesuatu yang baru menurut persepsi yang menerima, (b) diciptakan secara sengaja, (c) bertujuan untuk memperbaiki sistem yang sudah ada, dan (d) kebaikan dari inovasi itu dapat ditunjukkan.
Inovasi harus mengandung makna perbaikan terhadap tujuan-tujuan yang telah ditetapkan termasuk menetapkan satu atau lebih kriteria kualitatif. Inovasi juga biasanya dilihat sebagai sesuatu yang baru dan bukannya menyusun kembali apa yang sudah ada ke dalam pola-pola baru, di lain pihak perubahan meminta respons sedangkan inovasi memerlukan inisiatif. Ciri-ciri yang dikemukakan di atas adalah ciri-ciri berdasarkan batasan atau pengertian inovasi karena dalam perspektif yang berbeda tentu akan menunjukkan ciri yang berbeda. (Arifin, 2011, p. 296)
Rogers (Arifin, 2011, p. 296), misalnya, mengemukakan ciri-ciri inovasi, yaitu (a) keuntungan relatif (relative advantage) adalah tingkat yang digunakan untuk mengukur apakah inovasi itu lebih baik daripada gagasan sebelumnya atau tidak, (b) kesepadanan (compatibility) adalah tingkat sampai di mana suatu inovasi konsisten terhadap nilai-nilai yang ada, pengalaman-pengalaman masa lampau, dan kebutuhan-kebutuhan para adopter yang potensial, (c) kompleksitas (complexity) adalah tingkat sampai di mana suatu inovasi dilihat sebagai hal yang sulit untuk dipahami dan digunakan, (d) kemungkinan dapat dicoba (trialability) adalah tingkat sampai di mana kemungkinan suatu inovasi dapat dicobakan pada batas-batas tertentu, dan (e) kemungkinan dapat diamati (observability) adalah tingkat sampai dimana hasil dari suatu inovasi dapat diamati oleh orang lain. Selanjutnya Kohl dalam Holloway (Arifin, 2011, p. 296) mengatakan, “suatu inovasi mempunyai sifat yang dapat dipahami dengan jelas, dapat dikonsepsikan, dan mempunyai kegunaan impirik.”
Jika kita perhatikan ciri-ciri yang melekat pada inovasi, maka dapat disimpulkan bahwa inovasi kurikulum di Indonesia didasarkan pada tiga hal, yaitu : (a) visi, misi, tujuan pendidikan nasional yang ditetapkan oleh pemerintah melalui UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (b) tujuan inovasi kurikulum adalah untuk memperbaiki sistem kurikulum yang ada agar lebih baik lagi sehingga terasa manfaatnya bagi masyarakat pendidikan itu sendiri, dan (c) sebagai usaha untuk mencari pemecahan masalah. (Arifin, 2011, p. 297)
E. Syarat dan Langkah Melakukan Inovasi
Menurut (MKDP, 2011, p. 264) Sebelum kita melakukan pembaharuan kurikulum, minimal kita harus mengerti atau memahami kurikulum tersebut mulai dari konsep hingga pengembangan kurikulum tersebut. Setelah itu baru kita melanjutkan langkah-langkahnya, yaitu:
a. Tahap pengetahuan (knowledge)
b. Tahap bujukan (persuation)
c. Tahap pengambilan keputusan (decision making)
d. Tahap implementasi (implementation)
e. Tahap konfirmasi (confirmation)
F. Beberapa Hasil Inovasi Kurikulum
Perubahan-perubahan dan pergantian-pergantian kurikulum sejak tahun 60-an hingga tahun 2007 yang lalu telah banyak dirasakan, perubahan ini merupakan hasil berpikir dan merupakan produktivitas bagaimana pembaharuan (inovasi) dalam penyesuaian kurikulum yang selalu dituntut oleh masyarakat dapat dilakukan. Alasan kenapa perubahan/pembaharuan (inovasi) ini dapat terjadi, salah satunya adalah hasil evaluasi kurikulum.
Ada beberapa bentuk contoh-contoh kurikulum yang termasuk ke dalam the new an adaptive of curiculum. Maksudnya deskripsi berikut akan diseiringkan dengan filosofisnya pembaruan (inovasi), yaitu menganalisis dan memunculkan suatu yang baru. Pembaruan (inovasi) kurikulum ini sebetulnya terjadi dan dilakukan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan bahkan untuk tingkat inovasi satuan pembelajaran pun sangat banyak inovasi (pembaruan) yang dilakukan. Di bawah ini ada beberapa hasil pembaruan (inovasi), yaitu:
a. KTSP
b. KBK
c. Kurikulum 2007
d. Broad Based Curriculum
e. Kurikulum Sistem Ganda (KSG)
f. Kurikulum Muatan Lokal
(Sanjaya, 2008, p. 327) menyebutkan beberapa pembaharuan (inovasi) yang telah dilakukan, diantaranya:
a. Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Dilihat dari adanya perubahan sistem manajemen kurikulum itulah, maka dapat kita katakan bahwa pemberlakuan KTSP merupakan salah satu bentuk inovasi kurikulum yang ada di Indonesia. Tidak demikian dengan KTSP sebagai kurikulum operasional, disusun dan dikembangkan oleh sekolah sesuai dengan kondisi daerah.
b. Penyelenggaraan Sekolah Lanjutan Pertama Terbuka (SLTPT)
SLTP Terbuka merupakan sekolah menengah umum Tingkat Pertama yang kegiatan belajarnya dilaksanakan sebagian besar di luar gedung sekolah. Penyampaian pelajaran dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media sebagai pengganti guru, misalnya dengan menggunakan paket belajar berupa modul dan pemanfaatan media elektronik seperti radio.
c. Pengajaran Melalui Modul
Dalam konteks pembelajaran, modul dapat diartikan sebagai suatu unit lengkap yang berdiri sendiri yang terdiri dari rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu peserta didik mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas.
d. Pembelajaran melalui Komputer
Pembelajaran melalui komputer adalah bentuk pembelajaran yang dirancang secara individual dengan cara siswa berinteraksi secara langsung dengan materi pelajaran yang diprogram secara khusus melalui sistem komputer.
G. Jenis Inovasi Kurikulum Berdasarkan Pelaksana Inovasi
Pelaksanaan inovasi kurikulum tidak dapat dipisahkan dari pelaksana inovasi itu sendiri. Dilihat dari hal itu, inovasi kurikulum dibagi ke dalam dua jenis, yaitu top-down innovation dan Buttom-up innovation. (Arifin, Konsep dan Modul Pengembangan Kurikulum, 2011, p. 297)
1. Top-Down Innovation
Inovasi ini sengaja diciptakan oleh atasan sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan atau pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, ataupun sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi, dan sebagainya. Inovasi seperti ini dilakukan dan diterapkan kepada bawahan dengan cara mengajak, menganjurkan, dan bahkan memaksakan apa yang menurut pencipta itu baik untuk kepentingan bawahannya dan bawahan tidak punya otoritas menolak pelaksanaannya. Banyak contoh inovasi kurikulum “top-down innovation” yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional di Indonesia, anatar lain: CBSA, guru pamong, sekolah kecil, sistem pengajaran modul, sistem belajar jarak jauh, dan lain-lain. Inovasi seperti ini akan berjalan dengan baik apabila pihak pembuat kebijakan, para innovator, dan administrator menunjukkan sikap yang lebih baik. (Arifin, 2011, p. 297)
2. Buttom-Up Innovation
Inovasi ini dibuat berdasarkan ide, pikiran, kreasi, inisiatif sekolah, guru atau masyarakat. Jenis yang kedua ini jarang dilakukan di Indonesia karena sistem pendidikan yang ada cenderung bersifat sentralistis. (Arifin, 2011, p. 297)
Selanjutnya, Chin dan Benne dalam Kennedy (Arifin, 2011, p. 297) mengemukakan tiga strategi inovasi, yaitu power coercive (strategi pemaksaan), rational-empirical (empirik rasional), dan normative-reeducative (pendidikan yang berulang secara normatif)
a. Strategi Pemaksaan
Strategi pemaksaan berdasarkan kekuasaan merupakan suatu pola inovasi yang sangat bertentanagn dengan kaidah-kaidah inovasi itu sendiri. Strategi ini cenderung memaksakan kehendak, ide, dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi di mana inovasi itu akan dilaksanakan. Kekuasaan mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam menerapkan ide-ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan pikiran-pikiran dari pencipta inovasinya.
b. Strategi Empirik-Rasional
Asumsi dasar dalam strategi ini adalah bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional. Dalam kaitan dengan ini, inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang terbaik dan valid untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. Di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang menurutnya sesuai dengan akal sehat, berkaitan dengan situasi dan kondisi, bukan berdasarkan pengalaman guru tersebut. (Arifin, 2011, p. 298)
c. Strategi Pendidikan yang Berulang Secara Normatif.
“Strategi ini didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan, seperti Sigmund Freud, John Dewey, Kurt Lewis, dan beberapa pakar lainnya.” (Cece Wijaya (Arifin, 2011, p. 298)) yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahannya pembaharuan, seperti perubahan sikap, keterampilan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia. Misalnya, dalam pelaksanaan perbaikan sistem pembelajaran di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi berulang kali melaksanakan perubahan itu sesuai dengan kaidah-kaidah pendidikan.
H. Proses Pengembangan dan Keputusan Inovasi
Menurut Cece Wijaya (Arifin, 2011, p. 298) bahwa proses inovasi mempunyai beberapa tahapan, yaitu “invention, development, diffusion, dan adoption.” Sedangkan, menurut Subandiyah (Arifin, 2011, p. 298) bahwa proses inovasi terdiri atas: “pengembangan (development), penyebaran (diffusion), diseminasi (dissemination), perencanaan (planning), adaopsi (adoption), penerapan (implemention), evaluasi (evaluation).”
1. Invention, meliputi penemuan-penemuan baru yang biasanya merupakan adaptasi dari apa yang telah ada. Dalam praktiknya, sering terjadi inovasi kurikulum dan pembelajaran menggambarkan suatu hasil yang sangat berbeda dengan apa yang terjadi sebelumnya. Tempat terjadinya invention bisa saja di dalam maupun di luar sekolah. Biasanya penemuan dari tipe hardware kebanyakan dari luar sekolah, sedangkan penemuan di dalam sekolah banyak terjadi ketika para guru berupaya untuk mengubah situasi atau menciptakan cara-cara baru untuk menggantikan cara-cara yang tradisional.
2. Development, yaitu suatu proses sebelum masuk ke dalam skala yang lebih besar. Pengembangan sering kali bergandengan dengan penelitian sehingga prosedur “research and development” (R&D) merupakan tahapan yang digunakan dalam kurikulum “research and development” yang meliputi berbagai aktivitas, antara lain penelitian dasar. Penelitian ini menegtengahkan proses pengembangan bahan-bahan kurikulum yang baru.
3. Diffusion. Gabriel Tarde (Arifin, 2011, p. 299) adalah seorang pemikir ulung di zamannya tentang difusi. Konsep-konsepnya banyak ditiru oleh para pengikut difusi belakangan ini dengan menggunakan pendekatan kuantitatif, termasuk invisible college dan para sarjana Amerika lainnya menggunakan “hukum imitasi” dari Tarde. Akar sejarah penelitian difusi lainnya adalah sekelompok antropolog pemula yang muncul di Inggris dan Jerman-Austria, setelah masa Gabriel Tarde di Prancis. Para antropolog ini disebut “British Diffusionists” dan “German-Austrian Diffusionists”. Difusionisme adalah pandangan dalam antropologi yang menjelaskan perubahan masyarakat teretntu sebagai hasil pengenalan inovasi dari masyarakat lainnya. Difusionisme ini tidak banyak diikuti sekarang. Pandangan yang dominan sekarang adalah bahwa perubahan sosial itu disebabkan oleh invensi dan difusi yang biasanya terjadi secara berurutan.
Para peneliti difusi antropologi menggunakan sembilan tradisi penelitian difusi, yaitu tradisi riset antropology, early sociology, sosiologi pedesaan, pendidikan, kesehatan masyarakat, dan sosiologi medis, komunikasi, pemasaran, geografi, dan soisologi umum, sedangkan tipe penelitian difusi, meliputi pengetahuan tentang inovasi, kecepatan adopsi di antara inovasi dalam sistem sosial, keinovatifan, pendapat para pemimpin/tokoh/pemuka, siapa berinteraksi dengan siapa, kecepatan adopsi dalam sistem sosial, penggunaan saluran komunikasi, dan konsekuensi inovasi. (Arifin, 2011, p. 300)
Difusi sebagai proses berkaitan erat dengan komunikasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Rogers (Arifin, 2011, p. 300) bahwa “difusi adalah proses dimana inovasi dikomunikasikan melalui saluran-saluran tertentu secara terus menerus di antara anggota-anggota sistem sosial.” Ini merupakan bentuk komunikasi khusus, dan pesan yang disampaikan itu berkenaan dengan ide-ide baru, sedangkan komunikasi adalah sebuah proses di mana partisipan menciptakan dan saling tukar informasi agar terjadi saling pengertian. Selanjutnya, Torsten Hagerstrand dalam House (Arifin, 2011, p. 300) menjelaskan “difusi inovasi terjadi melalui jaringan kontak-kontak sosial.” Kontak-kontak itu terjadi baik pada tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional. Dengan demikian, penyebaran inovasi kurikulum dapat dilakukan melalui kontak-kontak soisal, di dalam jaringan komunikasi, atau pendekatan-pendekatan lain sesuai dengan kultur masyarakat setempat.
Difusi merupakan suatu tipe khusus dari komunikasi yang berhubungan dengan gagasan atau ide baru. Komunikasi merupakan proses yang melibatkan para pelakunya dalam menciptakan dan membagi informasi di antara sesamanya dalam rangka mencapai pemahaman bersama. Artinya, komunikasi adalah suatu proses konvergen atau divergen, karena dua atau lebih individu saling bertukar informasi untuk menggambarkan suatu peristiwa/fenomena tertentu. Komunikasi lebih dianggap sebagai suatu proses konvergensi dua arah daripada satu, yaitu tindakan linier dalam usaha individu mentransfer suatu pesan kepada orang lain. Karakteristik komunikasi dalam difusi adalah isi pesan dalam komunikasi tersebut adalah baru. Barunya isi pesan yang terdapat dalam komunikasi tersebut menentukan ketidakpastian. Ketidakpastian adalah tingkat kepercayaan terhadap sejumlah alternatif dari suatu peristiwa yang akan terjadi. (Arifin, 2011, p. 301)
Menurut Rogers (Arifin, 2011, p. 301) ada empat elemen pokok dalam difusi, yaitu “inovasi, saluran komunikasi, waktu, dan sistem sosial”. Dalam proses difusi, seorang inovator harus berpijak pada konsep-konsep inovasi yang utuh sehingga tidak terjebak dengan istilah-istilah lainnya, seperti perbaikan, perubahan, penyempurnaan dan sebagainya. Wujud atau bentuk dari inovasi itu akan berkaitan dengan kelompok pemakai dan strategi implementasi inovasi. Seorang innovator dalam melakukan difusi harus memikirkan juga bentuk saluran komunikasi, apakah akan menggunakan media massa atau pertemuan langsung dengan kelompok-kelompok pemakai. Dalam proses difusi, waktu merupakan elemen yang penting, baik dalam proses keputusan inovasi, keinovatifan seseorang maupun kecepatan dalam sistem. Selanjutnya, difusi terjadi di dalam suatu sistem sosial karena struktur sosial dan sistem sosial memengaruhi difusi inovasi dalam berbagai cara, sekalipun sistem sosial itu sendiri memiliki beberapa keterbatasan. Sistem sosial yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat unit yang saling berhubungan dan yang terlibat dalam pemecahan masalah bersama untuk mencapai tujuan bersama. Anggota unit dari suatu sistem sosial bisa individu-individu, kelompok informal, organisasi-organisasi atau sub-sistem lainnya.
4. Adoption. Pada tahap penyerapan (adoption) terdapat beberapa unsur penting yang perlu dipertimbangkan, antara lain: penerimaan, waktu, tipe pembaruan, unit pengadopsi, saluran komunikasi, struktur sosial, dan budaya. (Arifin, 2011, p. 301)
Proses pengembangan inovasi perlu memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut. (Arifin, 2011, p. 301)
a. Memahami masalah atau kebutuhan yang timbul dalam masyarakat. Dalam situasi tertentu, akibat desakan dan kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi, maka muncullah ide, gagasan dan pandangan baru yang mencoba memecahkan masalah secara komprehensif. Oleh sebab itu, perlu dilakukan redefinisi terhadap masalah sosial yang menyangkut interaksi antara individu dan sistem masyarakat. (Arifin, 2011, p. 301)
b. Melakukan penelitian dasar dan terapan. Dasar ilmu pengetahuan dan teknologi biasanya berasal dari penelitian dasar, sedangkan penelitian terapan terdiri atas investigasi sains yang diarahkan pada pemecahan masalah praktis. (Arifin, 2011, p. 302)
c. Pengembangan. Kegiatan pengembangan selalu dikaitkan dengan penelitian. Dalam kenyataan sangat sulit memisahkan antara Research dan development (R & D) sehingga kedua istilah ini sering digunakan secara bersama-sama. (Arifin, 2011, p. 302)
d. Komersialisasi. Pada tahap ini proses penelitian dan pengembangan dikemas dalam bentuk produk siap pakai oleh pengguna. Komersialisasi merupakan produksi, manufaktur, kemasan, pemasaran dan distribusi. (Arifin, 2011, p. 302)
e. Difusi dan adopsi. Masalah yang paling krusial dalam proses pengembangan inovasi adalah keputusan untuk memulai difusi kepada pengguna (adopter). Pada satu sisi perlu penekanan untuk menerapkan inovasi sesegera mungkin dalam memecahkan masalah, tetapi di sisi lain kredibilitas dan reputasi lembaga perlu dijaga dalam merekomendasikan inovasi yang dapat menguntungkan pengguna. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan dua hal, yaitu menjaga kualitas teknologi dan keputusan untuk menyebarluaskan inovasi. (Arifin, 2011, p. 302)
f. Konsekuensi. Tahap akhir dari proses pengembangan inovasi adalah konsekuensi. Persoalannya adalah apakah kebutuhan dapat dipecahkan oleh hasil inovasi atau sebaliknya. Sering juga muncul masalah baru sebagai akibat dari inovasi sehingga timbul masalah lain untuk memulai lagi proses pengembangan inovasi. (Arifin, 2011, p. 302)
I. Difusi
Difusi adalah proses komunikasi atau saling tukar informasi tentang suatu bentuk inovasi antara warga masyarakat sasaran sebagai peenrima inovasi dengan menggunakan saluran tertentu dan dalam waktu tertentu pula. (Sanjaya, 2011, p. 322)
Ada dua bentuk sistem difusi, yaitu difusi sentralisasi dan difusi desentralisasi. Difusi sentralisasi adalah difusi yang bersifat memusat. Artinya segala bentuk keputusan tentang komunikasi inovasi ditentukan oleh orang-orang yang merumuskan bentuk inovasi. Misalnya, kapan inovasi itu disebarluaskan, bagaimana caranya, siapa yang terlibat untuk menyebarkan informasi inovasi, bagaimana mengontrol penyebaran itu, seluruhnya ditentukan oleh pembawa dan perumus perubahan secara spontan. Sedangkan yang dimaksud difusi desentralisasi keberhasilan difusi tidak ditentukan oleh orang-orang yang merumuskan inovasi akan tetapi sangat ditentukan oleh masyarakat itu sendiri sebagai penggagas dan pelaksana difusi. (Sanjaya, 2011, p. 322)
Proses difusi diarahkan agar muncul pemahaman yang sama tentang inovasi. Oleh karena itu agar, terjadi proses difusi yang efektif perlu direncanakan. Proses perencanaan difusi dinamakan diseminasi. Dengan kata lain diseminasi dapat diartikan sebagai proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan dan dikelola secara baik. Dengan demikian, keberhasilan suatu penyebaran inovasi sangat tergantung kepada proses diseminasi.
Menurut (Sanjaya, 2011, p. 322) Cara agar terjadi proses difusi sehingga inovasi itu mudah diterima oleh anggota masyarakat atau sasaran inovasi, adalah tergantung beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor pembiayaan (Cost).
Biasanya semakin murah biaya yang dikeluarkan untuk suatu inovasi, maka akan semakin mudah diterima oleh kelompok masyarakat sasaran, walaupun kualitas inovasi sendiri sangat ditentukan oleh mahalnya biaya yang dikeluarkan. Misalnya, mengapa PPSP (Proyek Perintis Sekolah Pembangunan) sebagai suatu bentuk inovasi penyelenggaraan sistem pendidikan tidak dilanjutkan? Hal ini mungkin bukan karena ketidakberhasilan sistem pendidikan itu, akan tetapi terlalu mahalnya pembiayaan yang harus dikeluarkan dibandingkan dengan persekolahan biasa.
2. Risiko yang muncul sebagai akibat pelaksanaan inovasi.
Inovasi akan mudah diterima manakala memiliki efek samping yang sangat kecil, baik yang berkaitan dengan politik maupun keamanan dan keselamatan penerimanya. Suatu inovasi tidak akan mudah dan dapat diterima apabila memiliki risiko yang tinggi.
3. Kompleksitas
Inovasi akan mudah diterima oleh masyarakat sasaran manakala bersifat sederhana dan mudah dikomunikasikan. Semakin rumit bentuk inovasi itu, maka akan semakin sulit juga untuk diterima.
4. Kompabilitas
Artinya, mudah atau sulitnya suatu inovasi diterima oleh masyarakat sasaran ditentukan juga oleh kesesuaiannya dengan kebutuhan, tingkat pengetahuan dan keyakinan masyarakat pemakai. Suatu bentuk inovasi akan sulit diterima manakala tidak sesuai dengan kebutuhan pemakai atau sulit dipahami oleh karena tidak sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka.
5. Tingkat keandalan.
Suatu bentuk inovasi akan mudah diterima manakala diketahui tingkat keandalannya. Untuk mengetahui tingkat keandalannya itu bentuk inovasi terlebih dahulu harus diujicobakan secara ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa keandalan yang pasti, orang akan ragu untuk mengadopsinya.
6. Keterlibatan.
Bentuk inovasi yang dalam proses penyusunannya melibatkan kelompok masyarakat sasaran, akan mudah diterima. Misalkan untuk pembaruan dalam sistem pembelajaran, proses penyusunan inovasi melibatkan PGRI sebagai organisasi guru atau melibatkan perwakilan guru-guru tertentu yang dianggap berpengalaman.
7. Kualitas penyuluh.
Inovasi perlu disosialisasikan untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat sasaran. Dalam proses sosialisasi itu perlu dirancang sedemikian rupa sehingga mudah dipahami. Salah satu faktor yang menentukan dalam proses sosialisasi adalah faktor kualitas penyuluh. Kualitas penyuluh ditentukan bukan hanya oleh kemampuan penyuluhnya saja, akan tetapi tingkat keahlian yang bersangkutan. Proses penyuluhan yang dilakukan oleh seseorang yang dianggap kurang berpengalaman, akan sulit meyakinkan masyarakat sasaran.
Faktor-faktor di atas, sangat memengaruhi keberhasilan penyebaran dan penerimaan inovasi pendidikan. Oleh karena itu faktor-faktor tersebut dapat juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan berbagai bentuk inovasi pendidikan. (Sanjaya, 2011, p. 324)
J. Proses Keputusan Inovasi
Proses keputusan inovasi adalah proses di mana seorang individu atau unit pembuat keputusan mempertimbangkan langkah-langkah membuat keputusan, mulai dari memahami tentang inovasi, menentukan sikap terhadap inovasi, membuat keputusan untuk mengadopsi atau menolaknya, implementasi inovasi, sampai pada konfirmasi dari keputusan tersebut. Adapun uraian dari kelima langkah utama dalam proses keputusan inovasi ini adalah sebagai berikut.
1. Pengetahuan, terjadi bila seorang individu atau unit pembuat keputusan lainnya terbuka terhadap adanya inovasi dan memperoleh pengetahuan tentang bagaimana cara ia terlibat dan berfungsi dalam pengembangan inovasi.
2. Persuasi, terjadi bila seorang individu atau unit pembuat keputusan lainnya menentukan sikap senang atau tidak senang terhadap inovasi tersebut.
3. Keputusan, terjadi bila seorang individu atau unit pembuat keputusan lainnya terikat dalam aktivitas untuk memilih mengadopsi atau menolak inovasi itu.
4. Implementasi, terjadi bila seorang individu atau unit pembuat keputusan lainnya menentukan pelaksanaan suatu inovasi. Pembaruan kembali (reinnovation) mungkin sekali terjadi pada tahap implementasi ini.
5. Konfirmasi, terjadi bila seorang individu atau unit pembuat keputusan lainnya mencari dukungan bagi suatu keputusan inovasi yang telah dibuat, tetapi ia mungkin membalikkan keputusan yang lalu jika pesan-pesan yang disampaikan bertentangan dengan inovasi itu. (Arifin, 2011, p. 302)
Kelima langkah ini pada akhirnya disebut Rogers sebagai Model Proses Keputusan Inovasi. Selanjutnya, Havelock mengemukakan tiga model, yaitu : (a) model penelitian, pengembangan, dan difusi, yaitu model yang memandang bahwa proses perubahan merupakan rangkaian kegiatan rasional ketika inovasi ditemukan, kemudian dikembangkan, diproduksi dan disebarluaskan kepada pemakai; (b) model interaksi sosial, yaitu model yang menekankan pada difusi melalui gerakan penyampaian antarindividu atau antarsistem dengan perhatian utamanya adalah penerima potensial ; dan (c) model pemecahan masalah, yaitu model yang memandang proses perubahan sebagai sebuah lingkungan, dimulai dari adanya kebutuhan (masalah), diikuti dengan mencari kemungkinan pemecahan yang dapat dipilih dan diaplikasikan. (Arifin, 2011, p. 303)
Berkaitan dengan keputusan inovasi, perlu juga diketahui beberapa tipe keputusan inovasi, yaitu (a) keputusan inovasi pilihan, yaitu pilihan-pilihan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi yang dibuat oleh seseorang, yang bebas dari keputusan-keputusan dari anggota-anggota kelompok sebuah sistem, (b) keputusan inovasi kolektif, yaitu pilihan-pilihan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi yang dibuat secara konsensus di kalangan para anggota suatu sistem sosial, dan (c) keputusan inovasi otoritas, yaitu pilihan-pilihan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi yang telah dibuat oleh individu dalam suatu sistem yang mempunyai kekuatan, status atau keahlian teknis. (Arifin, 2011, p. 303)
Senada dengan Arifin, Sanjaya juga menjelaskan bagaimana keputusan masyarakat sasaran dalam menerima suatu inovasi. Ibrahim (Sanjaya, 2011, p. 324) menyatakan ada tiga tipe keputusan penerimaan inovasi, yaitu keputusan inovasi opsional, kolektif dan keputusan otoritas. Keputusan opsional adalah keputusan yang ditentukan oleh individu secara mandiri tanpa adanya pengaruh dari orang lain. Jadi dengan demikian, dalam keputusan opsional yang berperan untuk menolak atau menerima inovasi adalah individu itu sendiri.
Keputusan inovasi kolektif adalah keputusan yang didasarkan oleh kesepakatan bersama dari setiap kelompok masyarakat. Setiap anggota kelompok harus menaati untuk menerima atau menolak inovasi sesuai dengan keputusan kelompok walaupun keputusan itu mungkin kurang sesuai dengan pendapatnya. (Sanjaya, 2011, p. 324)
Keputusan inovasi otoritas, adalah keputusan untuk menerima atau menolak suatu inovasi ditentukan oleh orang-orang tertentu yang memiliki kewenangan dan pengaruh terhadap anggota kelompok masyarakatnnya. Anggota kelompok masyarakat sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak. Mereka hanya memiliki kewajiban untuk melaksanakan segala keputusan secara otoritas. Misalkan, kalau kepala dinas pendidikan mengharuskan semua guru untuk menerapkan metode SAS dalam pembelajaran bahasa, maka setiap guru harus melaksanakannya, walaupun mungkin ada guru yang menganggap metode tersebut kurang pas. (Sanjaya, 2011, p. 325)
K. Implementasi Inovasi dan Kecepatan Adopsi
Dalam rangkaian inovasi atau pembaharuan, implementasi menduduki posisi yang sangat penting, karena menyangkut sistem inovasi itu sendiri. Ketika kebijakan itu ditetapkan maka saat itu merupakan awal dari suatu kegiatan implementasi. Tanpa adanya proses implementasi sebagai salah satu titik yang menentukan dalam keseluruhan proses inovasi, maka tidak akan dapat diketahui daya guna dan hasil guna suatu inovasi. (Arifin, 2011, p. 306)
Fullan dan Pomfret (1997) menjelaskan studi implementasi lebih cenderung menggambarkan dua orientasi pokok. Orientasi pertama tujuan utamanya adalah menetapkan tingkat implementasi dalam arti sampai mana penggunaan inovasi secara actual sesuai dengan apa yang diharapkan. Orientasi tersebut biasanya disebut the fidelity of implementation. Orientasi kedua diarahkan pada analisis kerumitan proses perubahan dalam arti bagaimana inovasi dikembangkan atau diubah selama proses implementasi. Orientasi ini disebut dengan mutual adaptation. (Arifin, 2011, p. 306)
Implementasi merupakan salah satu bagian penting dari proses keputusan inovasi. Rogers (1983) menyebutkan bahwa “proses keputusan inovasi adalah sebuah proses yang dilalui individu (atau unit pengambil keputusan lainnya) yang dimulai dengan mengenal pertama kali adanya inovasi, kemudian membentuk sikap terhadap inovasi, mengambil keputusan menerima atau menolak inovasi, mengimplementasikan ide baru dan penegasan terhadap keputusan.” (Arifin, 2011, p. 306)
Nicholls (1983) mengemukakkan enam kesimpulan sebagai persyaratan penting untuk membantu keberhasilan implementasi inovasi, yaitu:
a. Guru harus memahami betul tentang inovasi tersebut.
b. Guru harus memiliki pengetahuan tentang proses perencanaan, keterampilan-keterampilan, dan kemampuan tertentu untuk mengembangkan dan melaksanakan inovasi.
c. Kriteria penilaian terhadap inovasi harus sudah disusun terlebih dahulu.
d. Penolakan terhadap inovasi harus sudah diperhitungkan pada saat inovasi mulai ditetapkan.
e. Pengetahuan dan perhatian amat diperlukan saat proses implementasi inovasi.
f. Jalur komunikasi yang efeká¹if harus dibangun dan dapat digunakan oleh semua yang terlibat dalam inovasi.
Aspek penting lainnya adalah penilaian tentang implementasi inovasi kurikulum. Pada tingkat sekolah, fungsi kepala sekolah dan guru sangat diperlukan karena bagaimanapun bagusnya inovasi kurikulum itu dirancang, tetapi akhirnya bergantung pada pengawasan kepala sekolah dan guru yang melaksanakan. Penilaian harus dilakukan sejak inovasi kurikulum tersebut diimplementasikan sampai dengan batas waktu tertentu. Untuk itu, kepala sekolah dan guru harus diberikan pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana melakukan penilaian inovasi kurikulum, seperti mengembangkan kriteria penilaian, pendekatan, dan model digunakan, proses melakukan judgement, proses membuat keputusan, dan sebagainya. (Arifin, 2011, p. 307)
Menurut (Arifin, 2011, p. 308) ada dua masalah pokok yang akan dihadapi oleh agen perubahan, yaitu:
a. Marginalitas sosial, sehubungan dengan posisi agen di antara lembaga pembaharuan dengan sistem klien.
b. Kelebihan informasi, yaitu keadaan individu atau sistem mendapat masukan informasi yang berlebihan dan tidak dapat diproses atau digunakan bahkan dapat menimbulkan kekacauan. Agen perubahan memiliki peranan penting, yaitu mengembangkan kebutuhan untuk perubahan, memantapkan hubungan pertukaran informasi, mendiagnosa masalah, menciptakan niat klien untuk berubah, mewujudkan niat klien ke dalam suatu tindakan, menciptakan stabilitas adopsi dan mencegah penghentiannya, dan mencapainya hubungan akhir dengan klien.
Arifin (2011:309) juga menuturkan bahwa ada hal-hal yang harus diperhatikan oleh agen perubahan dalam menilai kecepatan inovasi, antara lain:
a. Keseimbangan yang stabil. Hal ini berhubungan dengan kestabilan perubahan struktur atau fungsi sosial.
b. Keseimbangan yang dinamis. Pertimbangan ini berhubungan dengan perubahan sistem sosial dengan kemampuan sistem untuk mengatasinya.
c. Ketidaksinambungan akan terjadi apabila kecepatan suatu perubahan itu sangat cepat sehingga tidak dapat diikuti oleh sistem sosial.
L. Inovasi Kurikulum di Indonesia
Menurut (Arifin, 2011, p. 310) dalam perkembangan sistem pendidikan di Indonesia telah dilakukan berbagai upaya inovasi kurikulum, seperti perubahan tujuan kurikulum, restrukturisasi kurikulum, penyesuaian materi dan waktu, reorientasi pendekatan, dan sistem penilaian. Untuk itu, sering dilakukan percobaan-percobaan atau studi hasil yang baik, maka selanjutnya dituangkan dalam suatu kebijakan nasional untuk digunakan di seluruh Indonesia. Masalahnya adalah mengapa inovasi kurikulum di Indonesia harus dilakukan? Ada beberapa pertimbangan perlunya inovasi kurikulum di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
a. Relevansi, yaitu masih adanya ketidaksesuaian antara kurikulum yang digunakan dengan kebutuhan di lapangan.
b. Mutu pendidikan (proses hasil belajar) di Indonesia sangat rendah (sesuai dengan indikator-indikator tertentu).
c. Masalah pemerataan, pembangunan pendidikan di Indonesia sampai saat ini memang masih kurang merata.
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, maka diperlukan berbagai upaya atau terobosan dan pemikiran yang mendalam serta pendekatan progresif dalam bentuk inovasi kurikulum sehingga diharapkan ada peningkatan mutu pendidikan, baik pada masa sekarang maupun pada masa yang akan datang. Gagasan baru sebagai hasil pemikiran kembali haruslah mampu memecahkan persoalan yang tidak mungkin dipecahkan dengan cara-cara tradisional atau komersial. Gagasan dan pendekatan baru tentang kurikulum ini biasanya disebut inovasi kurikulum. (Arifin, 2011, p. 311)
(Arifin, 2011, p. 312) juga menuturkan ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan agar inovasi kurikulum berjalan dengan lancar, yaitu:
a. Faktor guru (pendidik)
Guru sebagai ujung tombak dalam pengembangan kurikulum merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan keefektifan kurikulum, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karena itu, guru memiliki peran utama dan pertama, baik sebagai pendidik, pembimbing, pengajar, pelatih, pelaksana, maupun sebagai inovator kurikulum.
b. Faktor Peserta didik (Siswa)
Sebagai objek utama dalam kurikulum terutama dalam proses pembelajaran, peserta didik memegang peranan yang sangat dominan. Peserta didik dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan inteligensia, kemampuan motorik, pengalaman, kemauan, dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila peserta didik juga dilibatkan dalam proses inovasi kurikulum. Peserta didik perlu diperkenalkan dan dilibatkan dalam proses inovasi kurikulum.
c. Faktor program pembelajaran
Program pembelajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam implementasi kurikulum di sekolah. Program pembelajaran merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kurikulum sebagai suatu sistem. Faktor ini harus diperhatikan karena hasil inovasi kurikulum pada akhirnya disusun dalam program pembelajaran.
d. Faktor fasilitas
Fasilitas termasuk sarana dan prasarananya tidak bisa diabaikan dalam penerapan inovasi kurikulum. Fasilitas merupakan hal yang turut mempengaruhi kelangsungan suatu inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi kurikulum dapat dipastikan tidak akan berjalan dengna baik. Fasilitas terutama fasilitas pembelajaran merupakan hal yang sangat esensial dalam melakukan perubahan dan pembaruan kurikulum. Dalam penerapan inovasi kurikulum, faktor fasilitas mutlak harus diperhatikan.
e. Faktor lingkungan sosial masyarakat
Masyarakat secara langsung ataupun tidak langsung, sengaja maupun tidak sengaja terlibat dalam inovasi kurikulum. Pada dasarnya, tujuan inovasi kurikulum adalah mengubah masyrakat menjadi lebih baik, terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi kurikulum tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak. Banyak kegiatan inovasi kurikulum yang tidak didukung oleh masyarakat berakibat terhentinya pelaksanaan inovasi. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi kurikulum justru akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam melaksanakan inovasi kurikulum.
M. Ruang Lingkup dan Bentuk Inovasi Kurikulum
Secara garis besar, ruang lingkup inovasi kurikulum terdiri atas, tujuan kurikulum, struktur kurikulum, isi atau materi pelajaran, proses pembelajaran, dan sistem penilaian. Tujuan kurikulum (tujuan kurikuler) bersumber dari setiap mata pelajaran. Jadi, setiap terjadi perubahan mata pelajaran, maka setiap itu pula terjadi perubahan tujuan kurikulum. Susunan mata pelajaran ini biasanya disebut struktur kurikulum. Hampir setiap pergantian kurikulum selalu terjadi perubahan struktur kurikulum. (Arifin, 2011, p. 313)
Inovasi kurikulum juga menyangkut tentang materi. Selama ini, kurikulum di Indonesia banyak menggunakan kurikulum berbasis isi (content-based curriculum), dan sejak kurikulum 2004 baru menggunakan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum). Perubahan kurikulum ini mengakibatkan perubahan paradigma terhadap proses pembelajaran, yaitu dari apa yang harus diajarkan (isi) menjadi apa yang harus dikuasai (kompetensi). (Arifin, 2011, p. 314)
Perubahan kurikulum ini juga membawa implikasi terhadap cara guru mengajar atau proses pembelajaran. Semula guru lebih menekankan pada selesainya pokok bahasan (isi), tetapi melupakan hasil. Namun sekarang justru lebih menekankan pada hasil. Beberapa bentuk inovasi kurikulum yang pernah dilakukan di Indonesia, terutama pada aspek proses pembelajaran. (Arifin, 2011, p. 314)
Dalam kurikulum 1975, kita mengenal strategi pembelajaran PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional), dan pendekatan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), kemudian 1984 diberlakukan “sistem kredit” dan sistem semester serta pendekatan keterampilan proses. Kurikulum 1994 dengan sistem catur wulannya lebih banyak menggunakan pendekatan-pendekatan seperti kurikulum sebelumnya. Kurikulum 2004, penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi serta sumber belajar, bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memiliki unsur edukatif. (Arifin, 2011, p. 314)
Memperhatikan bentuk-bentuk inovasi kurikulum tersebut di atas, berarti sudah banyak upaya-upaya inovasi kurikulum yang dilakukan di Indonesia, tetapi mengapa hasil dari inovasi kurikulum tersebut tidak atau belum pernah diekspos ke masyarakat luas, baik kelebihan maupun kekurangannya. Padahal, hasil-hasil penelitian tentang itu banyak dilakukan, dana-dana penelitian pun dianggarkan cukup besar, tetapi sayang hasil penelitian hanya berhenti sampai dengan laporan penelitian. (Arifin, 2011, p. 315)
N. Masalah Pendidikan sebagai Sumber Inovasi
Ada beberapa masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita. Sekalipun telah diberlakukannya otonomi daerah sebagai konsekuensi penerapan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999, permasalahan itu tampaknya akan tetap ada, bahkan akan semakin kompleks. Masalah tersebut adalah masalah relevansi, masalah kualitas, masalah efektivitas dan efisiensi, masalah daya tampung sekolah yang terbatas. (Sanjaya, 2011, p. 318)
1. Masalah Relevansi Pendidikan
Maka yang dimaksud dengan relevansi adalah kesesuaian antara kenyataan atau pelaksanaan dengan tuntutan dan harapan. Dalam konteks pendidikan, relevansi adalah kesesuaian antara pelaksanaan dan hasil pendidikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Masalah relevansi pendidikan ini dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama, relevansi pendidikan dengan lingkungan hidup siswa, artinya apa yang diberikan di sekolah harus sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan tuntutan masyarakat tempat siswa tinggal. Selama ini kurikulum kita dianggap kurang menyentuh kebutuhan dan keadaan atau kondisi lingkungan siswa. Oleh karena itu, penerapan kurikulum muatan lokal merupakan suatu inovasi dalam bidang pendidikan untuk memecahkan masalah tersebut. Melalui kurikulum muatan lokal, diharapkan apa yang diberikan di sekolah akan menjadi relavan dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan hidup siswa. (Sanjaya, 2011, p. 318)
Kedua, relevansi pendidikan dengan tuntutan kehidupan siswa baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Relevansi ini mengandung pengertian bahwa isi kurikulum harus mampu menjawab kebutuhan siswa pada masa yang akan datang. Pendidikan bukan hanya berfungsi untuk mengawetkan kebudayaan masa lalu, akan tetapi juga untuk mempersiapkan siswa agar kelak dapat hidup menyesuaikan dengan tuntutan zaman. Oleh karena itu, apa yang diberikan di sekolah harus teruji, bahwa semua itu memiliki nilai guna untuk kehidupan siswa di masa yang akan datang. (Sanjaya, 2011, p. 319)
Ketiga, relevansi pendidikan dengan tuntutan dunia kerja. Relevansi ini mengandung pengertian bahwa sekolah memiliki tanggung jawab dalam mempersiapkan anak didik yang memiliki keterampilan dan kemampuan sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Seperti yang telah disinggung dalam bagian terdahulu, bahwa salah satu asas pengembangan kurikulum adalah asas sosiologis yang mengandung makna, bahwa kurikulum harus memerhatikan tuntutan dan kebutuhan masyarakat termasuk tuntutan dunia kerja. Pendididkan berfungsi untuk mendidik manusia yang produktif, yang mampu bekerja dalam bidangnya maing-masing. Pada saat ini seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu banyak bidang-bidang keterampilan yang harus dimiliki anak didik. Dan pada kenyataannya salah satu kritikan yang muncul ke permukaan dewasa ini adalah bahwa pendidikan kita dianggap masih sangat lemah dalam mempersiapkan tenaga kerja yang terampil sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dunia kerja. (Sanjaya, 2011, p. 319)
Untuk menjawab masalah ini, inovasi pendidikan telah banyak dilakukan. Misalnya, penerapan sistem ganda untuk sekolah-sekolah kejuruan. Melalui sistem ini siswa tidak hanya dibekali dengan teori-teori akan tetapi dalam kurun waktu tertentu, mereka diharuskan melakukan magang di berbagai tempat seperti pusat-pusat industri yang akan menyerap mereka sebagai tenaga kerja. Dengan sistem ini diharapkan manakala mereka lulus kelak, mereka sudah paham apa yang harus dikerjakan. (Sanjaya, 2011, p. 319)
2. Masalah Kualitas Pendidikan
Selain masalah relevansi, maka rendahnya kualitas pendidikan juga dianggap sebagai suatu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita dewasa ini. Rendahnya kualitas pendidikan ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama dari segi proses dan kedua dari segi hasil. (Sanjaya, 2011, p. 319)
Rendahnya kualitas pendidikan dilihat dari sisi proses, adalah adanya anggapan bahwa selama ini proses pendidikan yang dibangun oleh guru dianggap cenderung terbatas pada penguasaan materi pelajaran atau bertumpu pada pengembangan aspek kognitif tingkat rendah, yang tidak mampu mengembangkan kreativitas berpikir proses pendidikan atau proses belajar mengajar dianggap cenderung menempatkan siswa sebagai objek yang harus diisi dengan berbagai informasi dan bahan-bahan hafalan. Komunikasi terjadi satu arah, yaitu dari guru ke siswa melalui pendekatan ekspositori yang dijadikan sebagai alat utama dalam proses pembelajaran. (Sanjaya, 2011, p. 320)
Dari sisi hasil, rendahnya kualitas pendidikan dapat dilihat dari tidak meratanya setiap sekolah dalam mencapai rata-rata Nilai Ujian Nasional (UN). Ada sekolah yang dapat mencapai rata-rata nilai UN yang tinggi, namun di lain pihak banyak sekolah yang mencapai UN jauh di bawah standar. (Sanjaya, 2011, p. 320)
Beberapa usaha yang dilakukan untuk memecahkan masalah tersebut di anataranya dengan meningkatkan kualitas guru dan perbaikan kurikulum, serta menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang lebih lengkap dan dianggap memadai. Peningkatan kualitas atau mutu guru, di antaranya dengan meningkatkan latar belakang akademis mereka melalui pemberian kesempatan untuk mengikuti program-program pendidikan, serta memberikan penataran-penataran dan pelatihan-pelatihan. Untuk guru SD, SMP, dan SMA misalkan, mereka diharuskan berlatar belakang akademis S1. (Sanjaya, 2011, p. 320)
Perbaikan kurikulum dilakukan bukan hanya membuka kemungkinan penambahan isi kurikulum sesuai dengan kebutuhan lingkungan masyarakat lokal, akan tetapi juga inovasi pelaksanaan proses pembelajaran dengan memperkenalkan penggunaan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), pendekatan keterampilan proses, Contekstual Teaching ang Learning, dan sebagainya. (Sanjaya, 2011, p. 320)
3. Masalah Efektivitas dan Efesiensi
Efektivitas berhubungan dengan tingkat keberhasilan pelaksanaan pembelajaran yang didesain oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran, baik tujuan dalam skala yang sempit seperti tujuan pembelajaran khusus, maupun tujuan dalam skala yang lebih luas, seperti tujuan kurikuler, tujuan institusional dan bahkan tujuan nasional. Dengan demikian, dalam konteks kurikulum dan pembelajaran suatu program pembelajaran dikatakan memiliki tingkat efektivitas yang tinggi manakala program tersebut dapat mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Misalkan, untuk mencapai tujuan tertentu, guru memprogramkan 3 bentuk kegiatan belajar mengajar. Manakala berdasarkan hasil evaluasi setelah dilaksanakan program kegiatan belajar mengajar itu, tujuan pembelajaran telah dicapai oleh seluruh siswa, maka dapat dikatakan bahwa program itu memiliki efektivitas yang tinggi. Sebaliknya, apabila diketahui setelah pelaksanaan proses belajar mengajar, siswa belum mampu mencapai tujuan yang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa program tersebut tidak efektif. (Sanjaya, 2011, p. 320)
Dengan cara yang sama, dapat dilakukan untuk melihat efektivitas program pendidikan dalam upaya mencapai tujuan yang lebih luas, misalkan tujuan institusional. Untuk mencapai tujuan lembaga pendidikan (institusi) tertentu diberikan sejumlah program pendidikan baik program intrakulikuler maupun program ekstrakulikuler. Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap lulusan lembaga pendidikan yang bersangkutan diketahui bahwa setiap lulusan memiliki kemampuan sesuai dengan tujuan lembaga itu, maka program pendidikan yang dilaksanakan dianggap efektif ; dan sebaliknya manakala lulusan tidak mencerminkan kemampuan yang diharapkan, maka program pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga yang bersangkutan dianggap kurang efektif. (Sanjaya, 2011, p. 321)
Efisiensi berhubungan dengan jumlah biaya, waktu, dan tenaga yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Artinya, suatu program pembelajaran dikatakan memiliki tingkat efisiensi yang tinggi, manakala dengan jumlah biaya yang minimal dapat menghasilkan atau dapat mencapai tujuan yang maksimal. Sebaliknya, program dikatakan tidak efisien apabila biaya dan tenaga yang dikeluarkan sangat besar, akan tetapi hasil yang diperoleh kecil. Sehubungan dengan masalah efisiensi ini, sebaiknya setiap guru membuat program yang benar-benar dapat menunjang ketercapaian tujuan pembelajaran. Sekolah dan guru harus menghindari program-program kegiatan yang banyak memerlukan biaya, waktu dan tenaga, padahal kegiatan tersebut tidak atau kurang mendukung terhadap pencapaian tujuan pendidikan. (Sanjaya, 2011, p. 321)
4. Masalah Daya Tampung yang Terbatas
Masalah lain yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah terbatasnya daya tampung sekolah khususnya pada tingkat SLTP. Masalah ini muncul setelah keberhasilan penyelenggaraan SD Inpres, yang mengakibatkan meledaknya lulusan sekolah dasar, sehingga menuntut pemerintah untuk menyediakan fasilitas agar dapat menampung para lulusan SD yang hendak melanjutkan ke SLTP. (Sanjaya, 2011, p. 322)
Keberhasilan program Inpres ini juga membawa dampak kepada permasalahan akan banyaknya minat lulusan SD yang hendak melanjutkan ke SLTP, padahal kondisi geografis, sosial, ekonomi mereka yang kurang mendukung, misalkan karena tempat tinggal mereka yang jauh berada di pedalaman atau pulau-pulau terpencil, aatu kemampuan sosial ekonomi mereka yang rendah. Untuk memecahkan masalah demikian, pemerintah memerlukan langkah-langkah yang inovatif, yaitu langkah-langkah yang dapat menyediakan kesempatan belajar seluas-luasnya untuk mereka dengan biaya yang rendah tanpa mengurangi mutu pendidikan.
O. Hambatan-Hambatan dalam Implementasi Inovasi Kurikulum
Berbagai upaya inovasi kurikulum telah banyak dilakukan di Indonesia, terutama untuk menata kembali keseluruhan struktur dan prosedur pengembangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah agar kebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Meskipun demikian, tidak sedikit juga hambatan yang terjadi setiap kali melakukan upaya inovasi. Hambatan itu, antara lain dapat disebabkan oleh tidak sesuainya latar belakang kultur masyarakat (terutama guru) tempat inovasi itu dikembangkan dengan budaya Indonesia. Penyebab lainnya adalah masih kurangnya sikap dan kemampuan berpikir kritis dan analitis. (Arifin, 2011, p. 315)
Sedangkan menurut (Sanjaya, 2008, p. 325) ada enam faktor utama yang dapat menghambat suatu inovasi, yaitu:
a. Estimasi yang tidak tepat
Faktor estimasi atau perencanaan dalam inovasi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan inovasi. Hambatan yang disebabkan kurang tepatnya estimasi ini diantaranya mencangkup kurang adanya pertimbangan implementasi inovasi, kurang adanya hubungan antar anggota team pelaksana, kurang adanya kesamaan pendapat tentang tujuan yang ingin dicapai, tidak adanya koordinasi antara petugas yang terlibat misalnya, dalam hal pengambilan keputusan dan kebijakan yang dianggap perlu. Tekanan dari pihak pemerintah juga menentukan cepat atau tidaknya hasil inovasi.
b. Konflik dan Motivasi
Konflik bisa terjadi dalam proses pelaksanaan inovasi, misalnya ada pertentangan antara anggota tim, kurang adanya pengertian serta adanya perasaan iri dari pihak atau anggota tim inovasi.
c. Inovasi tidak berkembang
Inovasi tidak berkembang juga sangat menghambat inovasi itu sendiri, adapun faktor yang dapat menghambat inovasi menjadi tidak berkembang, diantaranya, pendapat yang rendah, faktor geografis, seperti tidak memahami kondisi alam, letak geografis yang terpencil dan sulit dijangkau oleh alat transformasi sehingga dapat menghambat pengiriman bahan-bahan finansial, kurangnya sarana komunikasi, iklim dan cuaca yang tidak mendukung.
d. Masalah finansial
Keberhasilan pencapaian program inovasi sangat ditentukan oleh dana yang tersedia.
e. Penolakan dari kelompok penentu
Ketidakberhasilan inovasi dapat juga ditentukan oleh kesungguhan dan peran serta seluruh kelompok masyarakat, khususnya kelompok masyarakat yang menentukan seperti golongan elite, tokoh masyarakat dalam suatu sistem sosial.
f. Kurang adanya hubungan sosial
Ketika dalam proses inovasi kurang adanya hubungan sosial yang baik khususnya antar anggota team, sehingga terjadi ketidakharmonisan dalam bekerja. Maka hal ini akan menghambat suatu inovasi.
EmoticonEmoticon