SafelinkU | Shorten your link and earn money

Jun 10, 2018

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN

sumber


BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang


Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam menentukan titik acuan ataupun landasan dalam kehidupan manusia, hal ini menyebabkan manusia harus memiliki berbagai pemahaman yang terdapat dalam pendidikan tersebut. Karena jika terjadi kesalahan pahaman konsep tentang pendidikan, maka akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan.
Namun, dewasa ini masyarakat kebanyakan lebih mengutamakan praktek secara langsung tanpa mengetahui konsep-konsep ataupun pemahaman yang terdapat dalam landasan filosofi pendidikan. Oleh karena itu, kami mencoba menguraikan landasan-landasan yang terdapat dalam filosofi pendidikan tersebut.

B. Rumusan Masalah


Guna menghindari meluasnya masalah, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.         Apa yang dimaksud dengan landasan filosofi pendidikan?
2.         Apa yang dimaksud dengan landasan filosofi pendidikan idealisme, realisme, dan pragmatisme?
3.         Apa sajakah konsep Filsafat umum yang ada?

c. Tujuan


Tujuan disusunnya makalah ini yaitu untuk:

1.         Menjelaskan apa yang dimaksud denganlandasan filosofi pendidikan.
2.         Menjelaskan maksud dari landasan filosofi pendidikan idealisme, realisme, dan pragmatisme.
3.         Mengetahui konsep dari filsafat umum.

BAB II

PEMBAHASAN

 

Landasan Filosofis Pendidikan

Para pendidik perlu memiliki landasan filosofis pendidikan, ada dua alasan yang pertama, karena pendidikan bersifat normatif, maka dalam rangka pendidikan diperlukan suatu acuan atau titik tolak yang bersifat presektif atau normatif pula. Hal tersebut antara lain dapat bersumber dari agama, hukum, dan filsafat. Landasan filsafat pendidikan yang bersifat presektif atau normatif akan menunjukan tentang apa yang seharusnya ada di dalam pendidikan atau apa yang dicita-citakan dalam pendidikan. Kedua, pendidikan tidak cukup dipahami hanya melalui pendekatan yang bersifat parsial dan deskriptis saja, melainkan perlu dipandang pula secara holistik. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui pendekatan filosofis.
Di dalam khasanah teori pendidikan terdapat berbagai aliran filsafat pendidikan. Antara lain Idealisme, Realisme, Pragmatisme, dll. Namun kita memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat pendidikan yang berdsarkan pancasila. Berbagai macam filsafat pendidikan perlu kita pelajari namun hendaknya pendidikan yang diselenggarakan tetap berdasarkan pancasila. Dari pemahaman berbagai aliran filsafat pendidikan dapat membantu kita agar tidak terjerumus ke dalam aliran filsafat lain. Akan tetapi jika tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, kita pun dapat mengambil hikmah dari berbagai aliran filsafat pendidikan lain, dalam rangka memperkooh landasan filosofis pendidikan kita. Hal ini diharapkan tidak terjadi kesalahan konsep tentang pendidikan yang akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan.





A. Filsafat dan Landasan Filosofis Pendidikan


1.    Filsafat

a.    Definisi Filsafat

Filsafat (philosophy) menurut bahasa Yunani Kuno berasal dari dua kata, yaitu philein (cinta) dan soghia (kebijaksanaan). Sedangkan secara etimologis filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan (love of wisdom) pendapat ini dikemukakkan oleh Dagobert D. Runes dalam buku Waini Rasyidin (2012: 76). Adapun secara operasional filsafta mengandung dua pengertian, yakni sebagai proses (berfilsafat) dan sebagai hasil berfilsafat (sistem teori atau pemikiran). Filsafat jika ditinjau secara leksikal berarti sikap hidup atau pandangan hidup. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Socrates Pidrata (2009: 76) mengajarkan bahwa manusia harus mencari kebenaran dan kebijakan dengan cara berpikir secara dialektis. Sedangkan menurut Plato kebenaran hanya ada di alam ide yang bisa diselami dengan akal, sedang Aristoteles merupakan peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari melalui pengalaman panca indera.
Menurut Burhanuddin (2009: 156) filsafat bukanlah ilmu yang berdiri sendiri, yang otonom, tidak berdasarkan kodrat akal budi manusia melainkan tergantung dan ditentukan isinya oleh agama.

b.    Karakteristik Filsafat

Setelah diidentifikasikan ada enam hal berkenaan dengan karakteristik filsafat, yaitu objek yang dipelajari filsafat (objek studi), proses berfilsafat (proses studi), tujuan berfilsafat, hasil berfilsafat (hasil studi),penyajian dan sifat kebenarannya.
Menurut Waini Rasyidin (2012: 78) objek studi filsafat adalah sesuatu yang meliputi sesuatu yang telah tergelar dengan sendirinya (ciptaan Tuhan) maupun segala sesuatu sebagai hasil kreasi manusia.
Sedangkan menurut Surajiyo(2008: 5) objek filsafat adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek, yang dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. Objek material filsafat adalah suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek material juga adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin ilmu, objek material mencangkup apa saja baik hal yang konkret ataupun hal yang abstrak. Sedangkan objek formal filsafat adalah sudut pandangan yang ditunjukan pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari mana objek material itu diorot. Objek formal suatu ilmu  tidaj hanya memberi keutuhan suatu ilmu akan tetapi pada saat yang sama dapat membedakannya dari bidang-bidang lain.
Proses studi atau proses berfilsafat dimulai dengan ketakjuban, ketidakpuasan hasrat bertanya, dan keraguan seseorang filsuf terhadap sesuatu yang dialaminya. Dalam berfilsafat para filsuf tidak berpikir dengan bertolak kepada asumsi yang telah ada, sebaliknya mereka menguji asumsi yang telah ada. Selain itu, berpikir filosofis atau berfilsafat bersifat kontemplatif, artinya berpikir untuk mengungkap hakikat dari sesuatu yang dipikirkan, atau berpikir spekulatif yakni berpikir melampaui fakta yang ada untuk mengungkap apa yang ada di balik yang nampak. Hal ini dapat disebut juga berpirir radikal yaitu berpikir sampai kepada akar dari sesuatu yang dipertanyakan hingga terungkap hakikat dari apa yang dipertanyakan tersebut. Untuk mengungkap hakikat para filsuf berpikir secara sinoptik, yaitu berpikir dengan pola yang bersifat merangkum keseluruhan tentang apa yang sedang dipikirkan dan dipertanyakan. Para filsuf berpikir melibatkan seluruh pengalaman insaninya sehingga bersifat subjektif. (Waini Rasyidin, 2012: 78)
Para filsuf berpikir sedemikian rupa mengenai apa yang dipertanyakan tidak lain bertujuan agar memperoleh kebenaran. Hasil berfilsafat tidak lain adalah sistem teori, sistem pikiran atau konsep yang bersifat normative atau persektif dan individualistik-unik. Hasil  berfilsafat normative atau persektif artinya bahwa sistem gagasan filsafat menunjukan tentang apa yang dicita-citakan atau apa yang seharusnya. Sedangkan individualistik-unik mempunyai arti bahwa sistem gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf tertentu akan berbeda dengan sistem gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf lainnya. Oleh sebab itu kebenaran filsafat bersifat subjektif-paralelistik. (Waini Rasyidin, 2012: 79).
c. Sistematika/ Cabang-Cabang Filsafat

Menurut Redja Mudyahardjo (Waini Rasyidin, 2012: 79) filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam: 1. Filsafat Umum atau murni, 2. Filsafat Khusus atau Filsafat Terapan. Hal ini diklasifikasikan berdasarkan objek yang dipelajarinya.
Cabang filsfat umum terdiri atas:
1.         Metafisika yang meliputi: 1. Metafisika Umum atau Ontologi, dan 2. Metafiskia khusus yang meliputi cabang: a. Kosmologi, b. Teologi, c. Antropologi.
2.         Epistemologi
3.         Logika
4.         Aksiologi yang meliputi cabang: 1. Etika dan 2. Estetika.
Adapun cabang filsafat khusus antara lain: Filsafat Hukum, Filsafat Ilmu, Filsafat Pendidikan.

d. Aliran filsafat

Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa karakteristik berpikir para filsuf yang bersifat kontemplatif dan subjek telah menghasilkan sistem gagasan yang bersifat individualstik-unik. Namun demikian. Dalam peta perkembangan sistem pikiran filsafat para ahli filsafat menemukan kesamaan dan konsistensi pikiran dalam bentuk beberapa aliran pikiran dari para filsuf tertentu. Denagn demikian maka dikenal dengan adanya beberapa aliran filsafat, yaitu: 1. Idealisme, 2. Realisme, 3. Pragmatisme, dsb.

2. Landasan Filosofis Pendidikan


a.         Definisi Landasan Filosofis Pendidikan

Landasan filosofis pendidikan adalah seperangkat asumsi yang bersumber dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.



b.         Struktur Landasan Filosofis Pendidikan

Sesungguhnya landasan filosofis pendidikan merupakan suatu sistem gagasan tentang pendidikan yang dideduksi atau dijabarkan dari suatu sistem gagasan filsafat umum yang dianjurkan oleh aliran filsafat tertentu.
Maka dapat kita pahami bahwa terdapat hubungan implikasi antara gagasan-gagasan dalam cabang-cabang filsafat umum terhadap gagasan-gagasan pendidikan. Hal ini dapat divisualisasikan sebagai berikut:

Rounded Rectangle: KONSEP FILSAFAT UMUM

1. Hakikat Realitas
2. Hakikat Manusia
3. Hakikat Pengetahuan
4. Hakikat Nilai
Rounded Rectangle: KONSEP PENDIDIKAN

1. Tujuan Pendidikan
2. Kurikulum Pendidikan
3. Metode Pendidikan
4. Peranan Pendidik dan Peserta Didik
 











c. Karakteristik Landasan Filosofis Pendidikan 
Landasan filosofis pendidikan berisi tentang gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang bersifat normatif atau presektif. Landasan filosofis pendidikan dikatakan bersifat normatif atau persektif sebab landasan filosofis pendidikan tidak berisi konsep-konsep tentang pendidikan apa adanya (faktual), melainkan berisi tentang konsep-konsep yang seharusnya atau yang dicita-citakan (ideal), yang disarankan oleh filsuf tertentu untuk dijadikan tiitk tolak dalam rangka praktek pendidikan dan studi pendidikan.

d. Aliran Dalam Landasan Filosofis Pendidikan
Sebagaimana halnya di dalam filsafat umum, di dalam landasan filsafat pendidikan juga terdapat berbagai aliran pikiran. Sehubungan dengan ini, maka dikenal dengan adanya landasan filosofis pendidikan Idealisme, Realisme, Pragmatisme, dsb.

B. Landasan Filosofis Pendidikan Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme


            Menurut karya Callahan dan Clark (1983), Edward J. Power (1982), serta Kneller (1971), yang terdapat dalam buku Landasan Pendidikan (2012: 81-84)  apabila kita kaji maka sistem gagasan atau asumsi pendidikan Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme dapat dirangkum uraian dibawah ini.

1.         Idealisme

a. Konsep Filsafat Umum Idealisme
Metafisika: Para filosof Idealisme mengkalim bahwa realitas hakikatnya bersifat spiritual. Manusia: Manusia adalah makhluk spiritual. Manusia adalah makhluk berpikir, memiliki tujuan hidup dan hidup dalam dunia dengan satu aturan moral yang jelas. Pikiran manusia diberkahi kemampuan rasional dank arena itu menentukan pilihan (bebas).
Epistemologi: Pengetahuan yang diperoleh dengan cara mengingat kembali atau berpikir dan melalui intuisi. Kebenaran mungkin diperoleh manusia yang mempunyai pikiran yang baik, kebanyakan orang hanya sampai pada tingkat pendapat. Uji kebenaran pengetahuan dengan uji koherensi atau konsistensi.
Aksiologi: Manusia diperintah oleh nilai moral imperative yang bersumber dari realitas yang absolute. Nilai bersifat absolute dan tidak berubah.

b. Implikasi Terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan: Pengembangan karakter, pengembangan bakat insani, dan kebijakan social.
Kurikulum atau Isi Pendidikan: Pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan liberal, penyiapan keterampilan bekerja sesuatu mata pencaharian melalui pendidikan praktis. Kurikulum diorganisasi menurut mata pelajaran (subject matter) dan berpusat pada materi pelajaran (subject centered).
Metode Pendidikan: Metode yang diutamakan adalah metode dialektik, namun demikian tiap metode yang mendorong belajar dapat diterima, dan cenderung mengabaikan dasar-dasar fisiologis untuk belajar.
Peranan Pendidik dan Peserta didik: Pendidik bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan pendidikan bagi peserta didik. Pendidik harus unggul agar dapat menjadi teladan, baik dalam hal moral maupun intelektual. Sedangkan peserta didik bebas mengembangkan kepribadian dan bakat-bakatnya. Adapun orientasi pendidikan Idealisme adalah esensialisme.

2.         Realisme

a. Konsep Filsafat Umum Realisme
Metafisika: Para filosof Realisme umumnya memandang dunia dalam pengertian materi yang hadir dengan sendirinya, dan tertata dalam hubungan-hubungan yang teratur di luar camour tangan manusia.
Manusia: Hakikat manusia terletak pada apa yang dikerjakannya. Pikiran atau jiwa merupakan suatu organism yang sangat rumit yang mampu berpikir. Manusia bias bebas atu tidak bebas.
Epistomologi: Pengetahuan diperoleh manusia melalui pengalaman dan pengunaan akal. Dunia yang hadir tidak tergantung pada pikiran, atau pengetahuan manusia tidak dapat mengubah esensi realitas (principle of independence). Uji kebenaran pengetahuan didasarkan atas teori korespondensi.
Aksiologi: Tingkah laku manusia diatur oleh hukum alam dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebijaksanaan yang telah teruji.

b. Implikasi terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan: Pendidikan bertujuan untuk penyesuaian diri dalam hidup dan mampu melaksanakan tanggung jawab social.
Kurikulum/Isi Pendidikan: Kurikulum harus bersifat komprehensif yang berisi sains, matematika, ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial, serta nilai-nilai. Kurikulum mengandung unsur-unsur pendidikan liberal dan pendidikan praktis. Kurikulum diorganisasi menurut mata pelajaran (subject matter) dan berpusat pada materi pelajaran (subject centered).
Metode: Metode hendaknya bersifat logis dan psikologis. Pembiasaan merupakan metode utama bagi penganut Realisme.
Peranan Pendidik dan Peserta didik: Pendidik adalah pengelola kegiatan belajar mengajar (classroom is teacher-centered). Pendidik harus menguasai keterampilan teknik-teknik mengajar, dan memiliki kewenangan menuntut prestasi siswa. Sedangkan peserta didik berperan untuk menguasai pengetahuan, taat pada aturan dan berdisiplin. Adapun orientasi pendidikan Realisme adalah esensialisme.

3.         Pragmatisme

a. Konsep Filsafat Umum Pragamatisme
Metafisika: Pragmatisme anti metafisika. Suatu teori umum tentang kenyataan tidaklah mungkin dan tidak perlu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik, plural dan berubah (becoming).
Manusia: manusia adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial. Setiap orang lahir tidak dewas, tidak berdaya, tanpa dibekali dengan bahasa, keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan atau norma-norma sosial.
Epistomologi: Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman dan berpikir (scientific method). Pengetahuan adalah relative. Pengetahuan yang benar adalah yang berguna dalam kehidupan (instrumentalisme).
Aksiologi: Ukuran tingkah laku individual dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman hidup. Jika hasilnya berguna tingkah laku tersebut adalah baik (eksperimentalisme), karena itu nilai bersifat relatif dan kondisional.

b. Implikasi terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan: Pendidikan adalah pertumbuhan sepanjang hayat, proses rekonstruksi yang berlangsung terus menerus dari pengalaman yang terakumulasi dan sebuah proses sosial. Tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar dan tidak ada tujuan akhir pendidikan. Tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk mampu memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan individu maupun sosial.
Kurikulum/Isi Pendidikan: Kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, tidak memisahkan pendidikan liberal dan pendidikan praktis. Kurikulum mungkin berubah, warisan-warisan sosial dari masa lalu tidak menjadi focus perhatian. Pendidikan terfokus pada kehidupan yang baik pada saat itu dan masa datang bagi individu, dan secara bersamaan masyarakat dikembangkan. Kurikulum bersifat demokratis.
Metode: Mengutamakan metode pemecahan masalah, penyelidikan, dan penemuan.
Peranan Pendidik dan Peserta didik: Peranan pendidik adalah memimpin dan membimbing peserta didik belajar tanpa ikut campur terlalu atas minat dan kebutuhan siswa. Sedangkan peserta didik berperan sebagai organisme yang rumit yang mampu tumbuh.
Orientasi pendidikan Pragmatisme adalah progresivisme.

C. Landasan Filsafat Pendidikan Nasional: Pancasila

Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila yang rumusannya termaktub dalam “Pembukaan” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena Pancasila adalah dasar Negara Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga adalah dasar pendidikan nasional. Hal ini sejalan dengan pasal 2 Undang-Undang RI No. 23 tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” yang menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Mengingat pancasila adalah falsafah hidup bangsa, maka bangsa Indonesia hakikatnya memiliki landasan filosofis pendidikan tersendiri dalan sistem pendidikan nasionalnya, yaitu falsafah pendidikan berdasarkan Pancasila. (Landasan Pendidikan, 2012: 84)

1.      Konsep Filsafat Umum
a.       Metafisika
Pidarta (Callahan, 1983:77) menyebutkan bahwa metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. dalam kaitanya manusia ada dua pendangan yaitu:
1)         manusia hakekatnya adalah spiritual. yang ada adalah jiwa atau roh, yang lain adalah semu. pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri.
2)         manusia adalah organism materi. pendidikan adalah untuk hidup. pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi menyenangkan.
Hakekat realitas. Bangsa Indonesia meyakini bahwa realitas atau alam semesta tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan sebagai ciptaan (mahluk) Tuhan yang Maha Esa. Tuhan adalah sumber pertama dari segala yang ada, ia adalah sebab pertama dari segala sebab, tetapi ia tidak disebabkan oleh sebab-sebab yang lainnya; dan ia juga adalah tujuan akhir segala yang ada. (Kurniasih, 2012,:84-85)
Di alam semesta bukan hanya ralitas fisik atau hanya realitas non fisik yang ada, realitas yang bersifat fisik dan atau non-fisik tampak dalam pluralitas phenomena alam semesta sebagai keseluruhan yang integral. Terdapat alam fana dengan segala isi, nilai, norma atau hukum di dalamnya. Alam tersebut adalah tempat dan sarana bagi manusia dalam rangka hidup dan kehidupannya, dalam rangka melaksanakan tugas hidup untuk mencapai tujuan hidupnya. Di balik itu, terdapat alam akhir yang abadi dimana setelah mati manusia akan diminta pertanggung jawaban dan menerima imbalan atas pelaksanaan tugas hidup dari Tuhan YME. Dalam uraian di atas tersurat dan tersirat makna adanya realitas yang bersifat abadi dan realitas yang bersufat fana.
Termaktub dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kurniasih (2012,:85) mengatakan bahwa hakikat hidup bangsa Indonesia adalah berkat rahmat  Allah Yang Maha Kuasa dan perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur untuk mencapao dan mengisi kemerdekaan. Adapun yang menjadi keinginan luhur tersebut yaitu: (1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur; (2) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (3) memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa realitas juga tudak bersifat given (terberi)  dan final, melainkan juga “berwujud” sebagaimana kita manusia dan semua anggota alam semesta berpartisipasi “mewujudkannya”.
Hakekat manusia. Manusia adalah mahluk Tuhan YME. Manusia adalah kesatuan badan rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri (self-awareness), mempunyai berbagai kebutuhan, dibekali naluri dan nafsu, serta memiliki tujuan hidup. Manusia dibekali potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan untuk berbuat baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya manusia pun memiliki kemungkinan untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk: mampu berpikir (cipta), berperasaan (rasa), berkemauan (karsa), dan berkarya (karya). Adapun dalam eksistensinya manusia berdimensi individualitas atau personalitas, sosialitas, kalutural, mora;itas dan religious. Semuanya itu menunjukan dimensi interaksi atau komunitas (vertikat atau pun horizontal), historistas, dan dinamika dalam eksistensi manusia.
Kurniasih (2012,:86) Mengatakan Pancasila mengajarkan bahwa eksistensial manusia bersifa mono-pluralis tetapi bersifat integral. Artinya bahwa manusia yang serba dimensi itu hakikatnya adalah satu kesatuan utuh. Pancasila menganut azas Ketuahanan Yang Maha Esa manusia diyakini sebagai makhluk Tuhan YME, mendapat panggilan tugas dari-Nya, dan harus mempertanggung jawabkan segala amal pelaksanaan tugasnya terhadap Tuhan YME (aspek relogius); azas mono-dualisme: manusia adalah kesatuan badani-rohani, ia adalah pribadi atau individual tetapi sekaligus insan social; azas mono-pluralisme meyakini keragaman manusia, baik suku bangsa, budaya, dsb, tetapi adalah satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia (Bhineka Tunggal Ika); azas Nasionalisme: dalam eksistensinya manusia terikat oleh ruang dan waktu, maka ia mempunyai relasi dengan daerah, zaman, dan sejarahnya yang di ungkapkan dengan sikapnya mencintai tanah air, nusa, dan bangsa; azas internasionalisme: manusia Indonesia tidak meniadakan eksistensi manusia lain baik sebagai pribadi , kelompok atau bangsa lahir; azas demokrasi: dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama, kesamaan hak dan kewajiban menjadi dasr hubungan antara warga Negara, dan hubungan antara warga Negara dan Negara dan sebaliknya; azas keadilan social: dalam merealisasikan diri manusia harus senantiasa menjunjung tinggi tujuan kepentingan bersama dalam membagi hasil pembudayaan (BP-7 Pusat, 1995).

b.      Epistimologi
Surajiyo (2008:55) menyimpulkan dalam bukunnya bahwa epistimologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan. dan senada dengan Surajiyo, Pidarta (2009:77-78) mengatakan bahwa Epistimologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut:
1)      Ada lima sumber pengetahuan yaitu:
a)      Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan table
b)      Common sense, yang ada pada adat dan tradisi.
c)      Intuisi yang berkaitan dengan perasaan
d)      pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman
e)      pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan penngetahuan secara ilmiah
2)      Ada empat teori kebenaran yaitu:
a)      Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisiten dengan kebenaran umum.
b)      Koresponden, sesuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
c)      Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya member manfaat bagi kehidupan.
d)      Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3)      Logika ialah filsafat yang membahas tentang cara manusia berfikir dengan benar.
4)      Etika ialah filsafat ialah yang menguraikan tentang prilaku manusia. Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini.
Hakekat pengetahuan. Segala pengetahuan hakikatnya bersumber dari sumberpertama yaitu Tuhan YME. Tuhan telah menurunkan pengetahuan baik melalui utusan-Nya (berupa wahyu) maupun melalui berbagai hal yang digelarkan-Nya di alam semsta termasuk hokum-hukum yamg terdapat di dalamnya. Manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui keimanan/kepercayaan, berpilar pengalaman, empiris, penghayatan, dan intuisi.
Kebenaran pengetahuan ada yang bersifat mutlak (seperti dalam pengetahuan keagamaan/revaled knowledge yang dimani), tetapi ada pula yang bersigat relative (seperti dala pengetahuan ilmiah sebagau hasil manusia melalui riset, dsb)
Pengetahuan yang bersifat mutlak (ajaran agama/wahyu Tuhan) diyakini mutlak kebenarannya atas dasar keimanan kepada Tuhan YME. Pengetahuan yang bersifat relative (fisafat, sains dll) diakui kebenarannya melalui uji konsistensi logi ide-idenya, kesesuaiannya dengan data atau fakta empiris, dan nilai kegunaan praktisnya bagi kesejahteraan mengacu pada kebenaran dan nilai-nilai yang bersifat mutlak.

c.          Aksiologi
Hakikat Nilai. Simber pertama segala nilai hakikatnya adalah Tuhan YME. Karena manusia adalah makhluk Tuhan, pribadi/individual dan sekaligus insan social, maka hakik, ahat nilai diturunkan dari Tuhan YME. Masyarakat dan individu.

2.      Implikasi terhadap Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembanngkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak mulia, serta keteramilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisitem pendidikan Nasional).
Implikasi konsep Pendidikan menurut  Pidarta ( 2009:106-108) yang di bawah ini adalah terbatas pada penjabaran sila-sila pancasila.
a. Filsafat pendidikan Indonesia perlu segera diwujudkan agar pendidikan bercorak Indonesia lebih mudah dibentuk.
b. Peranan dan pengembangan sila-sila Pancasila pada diri peserta didik pada hakikatnya adalah pengembangan  afeksi.
c.  Pendidikan pancasila dan pendidikan agama tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi satu dengan yang lain.
d. Materi pendidikan afeksi selain bersumber dari bidang studi yang membahas moral pancasila dan ajaran agama, sebaiknya dilengkapi dengan nila-nilai dan adat istiadat yang masih hidup di masyarakat Indonesia serta  budi pekerti luhur yang tetap dijunjung di bumi Indonesia ini.
e.  Dalam mengembangkan materi pendidikan afeksi, sangat mungkin sumber materi itu berasaldari luar negeri.
f. Dalam rangka pengembangan afeksi peserta didik, ada baikanya kondisi ke arah itu sehingga itu sengaja diciptakan, antara lain dengan menghadirkan jauh lebih banyak budaya bangsa sendiri untuk menetralkan pengaruh budaya  asing yang memang sulit di bendung dalam abad informasi dan global ini.
Sebagai usaha sadar dan terencana, pendidikan tentunya harus mempunyai dasar dan tujuan yang jelas, sehingga dengan demikian baik isi pendidikan maupun cara-cara pembelajaran dipilih, diturunkan akan dilaksanakan dengan mengacu kepada dasar dan tujun pendidikan yang telah di tetapkan. Selain itu, pendidikan bukanlah prpses pembentukan peserta didik untuk menjadi orang tertentu sesuai kehendak sepihak dari pendidik. Karena manusia (peserta didik) hakikatnya adalah pribadi yang memilih potensi dan memiliki keinginan untuk menjadi dirinya sendiri., mala upaya pendidikan harus dipandang sebagai upaya bantuan dan memfasilitasi peserta didik dalam rangka mengembangkan potensi dirinya. Upaya pendidikan adalah pemberdayaan peserta didik. Hal ini hendaknya tidak dipandang sebagai upaya dan tujuan yang bersifat individualistiksemata, sebab sebagaimana telah dikemukakan bahwa kehidupan manusia itu multi dimensi dan merupakan kesatuan yang integral.
Selain hal di atas, dimensi Hitoritas, dinamika, perkembangan kebudayaan dan tugas hidup yang diemban manusia mengimplikasikan bahwa pendidikan harus diselenggarakan sepanjang hayat. Pendidikan selayaknya diselenggarakan sejak dini, pada setiap tahap perkembangan hingga akhir hayat. Sebsb itu pendidikan hendaknya diselenggarakan baik pada jalur pendidikan informal, formal maupun nonformal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Tujuan pendidikan. Pandangan pancasila tentang hakekat ralitas, manusia, pengetahuan dan hakikat nilai mengimplikasikan bahwa pendidikan seyogyanya bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
kurikulum pendidikan disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara kesatuan republik Indonesia dengan memperhatikan:
a)      peningkatan iman dan takwa
b)      peningkatan ahlak mulia
c)      peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik
d)      keragaman potensi daerah dan lingkungan
e)      tuntutan pembangunan daerah dan nasional
f)       tuntutan dunia kerja
g)      perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
h)      agama
i)       dinamika perkembangan global, dan
j)       persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Berbagai metode pendidikan yang ada merupakan berbagai alternative untuk diaplikasikan. pemilihan dan aplikasi metode pendidikan hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan pendidikan yang hendak dicapai, hakikat manusia dan peserta didik, karakteristik isi/materi pendidikan, dan fasilitas alat bantu pendidikan yang tersedia. peranan pendidikan dan peserta didik tersurat dan tersirat dalam semboyan yang sering kita dengar “ing ngarso sing tulodo” artinya pendidika harus memberikan atau menjadi teladan bagi pesrta didiknya; “ing madya mangun karso” artinya pendidik harus mampu membangun karsa pada diri peserta didiknya; dan “tut wuri handayani” arinya bahwa sepanjang tidak berbahaya harus member kebebasan  atau kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri.
Pendidkan memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi konservasi dan fungsi kreasi. fungsi konservasi ini dilandasi asumsi bahwa terdapat nilai-nilai, pengetahuan norma, kebiasan-kebiasaan, dsbyang dijunngjung tingggi dan dipandang berharga untuk tetap dipertahankan.


EmoticonEmoticon