sumber |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
merupakan suatu hal yang sangat diperlukan dalam menentukan titik acuan ataupun
landasan dalam kehidupan manusia, hal ini menyebabkan manusia harus memiliki
berbagai pemahaman yang terdapat dalam pendidikan tersebut. Karena jika
terjadi kesalahan pahaman konsep tentang pendidikan, maka akan
mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan.
Namun, dewasa ini masyarakat kebanyakan
lebih mengutamakan praktek secara langsung tanpa mengetahui konsep-konsep
ataupun pemahaman yang terdapat dalam landasan filosofi pendidikan. Oleh karena
itu, kami mencoba menguraikan landasan-landasan yang terdapat dalam filosofi
pendidikan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Guna menghindari meluasnya masalah, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan landasan filosofi pendidikan?
2.
Apa yang dimaksud dengan landasan filosofi pendidikan idealisme, realisme, dan pragmatisme?
3.
Apa sajakah konsep Filsafat umum yang ada?
c. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini yaitu untuk:
1.
Menjelaskan apa yang dimaksud denganlandasan filosofi pendidikan.
2.
Menjelaskan maksud dari landasan
filosofi pendidikan idealisme, realisme, dan pragmatisme.
3.
Mengetahui konsep dari filsafat umum.
BAB II
PEMBAHASAN
Landasan Filosofis
Pendidikan
Para pendidik perlu memiliki landasan filosofis pendidikan, ada dua
alasan yang pertama, karena pendidikan bersifat normatif, maka dalam rangka
pendidikan diperlukan suatu acuan atau titik tolak yang bersifat presektif atau
normatif pula. Hal tersebut antara lain dapat bersumber dari agama, hukum, dan
filsafat. Landasan filsafat pendidikan yang bersifat presektif atau normatif
akan menunjukan tentang apa yang seharusnya ada di dalam pendidikan atau apa
yang dicita-citakan dalam pendidikan. Kedua, pendidikan tidak cukup dipahami
hanya melalui pendekatan yang bersifat parsial dan deskriptis saja, melainkan
perlu dipandang pula secara holistik. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui
pendekatan filosofis.
Di dalam khasanah teori pendidikan terdapat berbagai aliran
filsafat pendidikan. Antara lain Idealisme, Realisme, Pragmatisme, dll. Namun
kita memiliki filsafat pendidikan nasional tersendiri, yaitu filsafat
pendidikan yang berdsarkan pancasila. Berbagai macam filsafat pendidikan perlu
kita pelajari namun hendaknya pendidikan yang diselenggarakan tetap berdasarkan
pancasila. Dari pemahaman berbagai aliran filsafat pendidikan dapat membantu
kita agar tidak terjerumus ke dalam aliran filsafat lain. Akan tetapi jika
tidak bertentangan dengan nilai-nilai pancasila, kita pun dapat mengambil
hikmah dari berbagai aliran filsafat pendidikan lain, dalam rangka memperkooh
landasan filosofis pendidikan kita. Hal ini diharapkan tidak terjadi kesalahan
konsep tentang pendidikan yang akan mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam
praktek pendidikan.
A. Filsafat dan Landasan
Filosofis Pendidikan
1.
Filsafat
a.
Definisi Filsafat
Filsafat
(philosophy) menurut bahasa Yunani Kuno berasal dari dua kata, yaitu philein
(cinta) dan soghia (kebijaksanaan). Sedangkan secara etimologis filsafat adalah
cinta kepada kebijaksanaan (love of wisdom) pendapat ini dikemukakkan oleh
Dagobert D. Runes dalam buku Waini Rasyidin
(2012: 76). Adapun secara operasional filsafta mengandung dua
pengertian, yakni sebagai proses (berfilsafat) dan sebagai hasil berfilsafat
(sistem teori atau pemikiran). Filsafat jika ditinjau secara leksikal berarti
sikap hidup atau pandangan hidup. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
Socrates Pidrata
(2009: 76) mengajarkan bahwa manusia harus mencari kebenaran dan kebijakan
dengan cara berpikir secara dialektis. Sedangkan menurut Plato kebenaran hanya
ada di alam ide yang bisa diselami dengan akal, sedang Aristoteles merupakan
peletak dasar empirisme, yaitu kebenaran harus dicari melalui pengalaman panca
indera.
Menurut Burhanuddin (2009: 156) filsafat bukanlah ilmu yang berdiri
sendiri, yang otonom, tidak berdasarkan kodrat akal budi manusia melainkan
tergantung dan ditentukan isinya oleh agama.
b.
Karakteristik Filsafat
Setelah diidentifikasikan ada enam hal berkenaan dengan
karakteristik filsafat, yaitu objek yang dipelajari filsafat (objek studi),
proses berfilsafat (proses studi), tujuan berfilsafat, hasil berfilsafat (hasil
studi),penyajian dan sifat kebenarannya.
Menurut Waini Rasyidin (2012: 78)
objek studi filsafat adalah sesuatu yang meliputi sesuatu yang telah tergelar
dengan sendirinya (ciptaan Tuhan) maupun segala sesuatu sebagai hasil kreasi
manusia.
Sedangkan menurut Surajiyo(2008: 5) objek filsafat adalah sesuatu
yang merupakan bahan dari suatu penelitian atau pembentukan pengetahuan. Setiap
ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek, yang dibedakan menjadi dua, yaitu objek
material dan objek formal. Objek material filsafat adalah suatu bahan yang
menjadi tinjauan penelitian atau pembentukan pengetahuan itu. Objek material
juga adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu disiplin
ilmu, objek material mencangkup apa saja baik hal yang konkret ataupun hal yang
abstrak. Sedangkan objek formal filsafat adalah sudut pandangan yang ditunjukan
pada bahan dari penelitian atau pembentukan pengetahuan itu, atau sudut dari
mana objek material itu diorot. Objek formal suatu ilmu tidaj hanya memberi keutuhan suatu ilmu akan
tetapi pada saat yang sama dapat membedakannya dari bidang-bidang lain.
Proses studi atau proses berfilsafat dimulai dengan ketakjuban,
ketidakpuasan hasrat bertanya, dan keraguan seseorang filsuf terhadap
sesuatu yang dialaminya. Dalam berfilsafat para filsuf tidak berpikir dengan
bertolak kepada asumsi yang telah ada, sebaliknya mereka menguji asumsi
yang telah ada. Selain itu, berpikir filosofis atau berfilsafat bersifat kontemplatif,
artinya berpikir untuk mengungkap hakikat dari sesuatu yang dipikirkan, atau berpikir
spekulatif yakni berpikir melampaui fakta yang ada untuk mengungkap apa
yang ada di balik yang nampak. Hal ini dapat disebut juga berpirir radikal
yaitu berpikir sampai kepada akar dari sesuatu yang dipertanyakan hingga
terungkap hakikat dari apa yang dipertanyakan tersebut. Untuk mengungkap
hakikat para filsuf berpikir secara sinoptik, yaitu berpikir dengan pola
yang bersifat merangkum keseluruhan tentang apa yang sedang dipikirkan dan
dipertanyakan. Para filsuf berpikir melibatkan seluruh pengalaman insaninya
sehingga bersifat subjektif. (Waini Rasyidin, 2012: 78)
Para filsuf berpikir sedemikian rupa mengenai apa yang
dipertanyakan tidak lain bertujuan agar memperoleh kebenaran. Hasil berfilsafat
tidak lain adalah sistem teori, sistem pikiran atau konsep yang bersifat normative
atau persektif dan individualistik-unik. Hasil berfilsafat normative atau persektif
artinya bahwa sistem gagasan filsafat menunjukan tentang apa yang
dicita-citakan atau apa yang seharusnya. Sedangkan individualistik-unik mempunyai
arti bahwa sistem gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf tertentu akan
berbeda dengan sistem gagasan filsafat yang dikemukakan filsuf lainnya. Oleh
sebab itu kebenaran filsafat bersifat subjektif-paralelistik. (Waini Rasyidin,
2012: 79).
c. Sistematika/
Cabang-Cabang Filsafat
Menurut Redja Mudyahardjo (Waini Rasyidin, 2012: 79) filsafat dapat
diklasifikasikan ke dalam: 1. Filsafat Umum atau murni, 2. Filsafat Khusus atau
Filsafat Terapan. Hal ini diklasifikasikan berdasarkan objek yang dipelajarinya.
Cabang
filsfat umum terdiri atas:
1.
Metafisika yang meliputi: 1.
Metafisika Umum atau Ontologi, dan 2. Metafiskia khusus yang meliputi cabang:
a. Kosmologi, b. Teologi, c. Antropologi.
2.
Epistemologi
3.
Logika
4.
Aksiologi yang meliputi cabang: 1.
Etika dan 2. Estetika.
Adapun cabang filsafat
khusus antara lain: Filsafat Hukum, Filsafat Ilmu, Filsafat Pendidikan.
d. Aliran filsafat
Sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas, bahwa karakteristik berpikir para filsuf yang
bersifat kontemplatif dan subjek telah menghasilkan sistem gagasan yang
bersifat individualstik-unik. Namun demikian. Dalam peta perkembangan sistem
pikiran filsafat para ahli filsafat menemukan kesamaan dan konsistensi pikiran
dalam bentuk beberapa aliran pikiran dari para filsuf tertentu. Denagn demikian
maka dikenal dengan adanya beberapa aliran filsafat, yaitu: 1. Idealisme, 2.
Realisme, 3. Pragmatisme, dsb.
2. Landasan
Filosofis Pendidikan
a.
Definisi Landasan Filosofis Pendidikan
Landasan filosofis pendidikan adalah seperangkat asumsi yang
bersumber dari filsafat yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan.
b.
Struktur Landasan Filosofis Pendidikan
Sesungguhnya landasan filosofis pendidikan merupakan suatu sistem
gagasan tentang pendidikan yang dideduksi atau dijabarkan dari suatu sistem
gagasan filsafat umum yang dianjurkan oleh aliran filsafat tertentu.
Maka dapat kita pahami bahwa terdapat hubungan implikasi antara
gagasan-gagasan dalam cabang-cabang filsafat umum terhadap gagasan-gagasan
pendidikan. Hal ini dapat divisualisasikan sebagai berikut:
c. Karakteristik Landasan Filosofis Pendidikan
Landasan
filosofis pendidikan berisi tentang gagasan-gagasan atau konsep-konsep yang
bersifat normatif atau presektif. Landasan filosofis pendidikan dikatakan
bersifat normatif atau persektif sebab landasan filosofis pendidikan tidak
berisi konsep-konsep tentang pendidikan apa adanya (faktual), melainkan berisi
tentang konsep-konsep yang seharusnya atau yang dicita-citakan (ideal), yang
disarankan oleh filsuf tertentu untuk dijadikan tiitk tolak dalam rangka praktek
pendidikan dan studi pendidikan.
d. Aliran Dalam Landasan Filosofis Pendidikan
Sebagaimana
halnya di dalam filsafat umum, di dalam landasan filsafat pendidikan juga
terdapat berbagai aliran pikiran. Sehubungan dengan ini, maka dikenal dengan
adanya landasan filosofis pendidikan Idealisme, Realisme, Pragmatisme, dsb.
B. Landasan
Filosofis Pendidikan Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme
Menurut
karya Callahan dan Clark (1983), Edward J. Power (1982), serta Kneller (1971),
yang terdapat dalam buku Landasan Pendidikan (2012: 81-84) apabila kita kaji maka sistem gagasan atau
asumsi pendidikan Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme dapat dirangkum uraian
dibawah ini.
1.
Idealisme
a. Konsep
Filsafat Umum Idealisme
Metafisika: Para filosof Idealisme mengkalim
bahwa realitas hakikatnya bersifat spiritual. Manusia: Manusia adalah makhluk
spiritual. Manusia adalah makhluk berpikir, memiliki tujuan hidup dan hidup
dalam dunia dengan satu aturan moral yang jelas. Pikiran manusia diberkahi
kemampuan rasional dank arena itu menentukan pilihan (bebas).
Epistemologi: Pengetahuan yang
diperoleh dengan cara mengingat kembali atau berpikir dan melalui intuisi.
Kebenaran mungkin diperoleh manusia yang mempunyai pikiran yang baik,
kebanyakan orang hanya sampai pada tingkat pendapat. Uji kebenaran pengetahuan
dengan uji koherensi atau konsistensi.
Aksiologi: Manusia diperintah oleh
nilai moral imperative yang bersumber dari realitas yang absolute. Nilai
bersifat absolute dan tidak berubah.
b. Implikasi
Terhadap Pendidikan
Tujuan
Pendidikan: Pengembangan karakter, pengembangan bakat insani, dan kebijakan
social.
Kurikulum atau Isi Pendidikan:
Pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan liberal, penyiapan
keterampilan bekerja sesuatu mata pencaharian melalui pendidikan praktis.
Kurikulum diorganisasi menurut mata pelajaran (subject matter) dan berpusat
pada materi pelajaran (subject centered).
Metode Pendidikan: Metode yang
diutamakan adalah metode dialektik, namun demikian tiap metode yang mendorong
belajar dapat diterima, dan cenderung mengabaikan dasar-dasar fisiologis untuk
belajar.
Peranan Pendidik dan Peserta didik:
Pendidik bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan pendidikan bagi peserta
didik. Pendidik harus unggul agar dapat menjadi teladan, baik dalam hal moral
maupun intelektual. Sedangkan peserta didik bebas mengembangkan kepribadian dan
bakat-bakatnya. Adapun orientasi pendidikan Idealisme adalah esensialisme.
2.
Realisme
a. Konsep
Filsafat Umum Realisme
Metafisika: Para filosof Realisme
umumnya memandang dunia dalam pengertian materi yang hadir dengan sendirinya,
dan tertata dalam hubungan-hubungan yang teratur di luar camour tangan manusia.
Manusia: Hakikat manusia terletak
pada apa yang dikerjakannya. Pikiran atau jiwa merupakan suatu organism yang
sangat rumit yang mampu berpikir. Manusia bias bebas atu tidak bebas.
Epistomologi: Pengetahuan diperoleh
manusia melalui pengalaman dan pengunaan akal. Dunia yang hadir tidak
tergantung pada pikiran, atau pengetahuan manusia tidak dapat mengubah esensi
realitas (principle of independence). Uji kebenaran pengetahuan didasarkan atas
teori korespondensi.
Aksiologi: Tingkah laku manusia
diatur oleh hukum alam dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh
kebijaksanaan yang telah teruji.
b. Implikasi
terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan: Pendidikan
bertujuan untuk penyesuaian diri dalam hidup dan mampu melaksanakan tanggung
jawab social.
Kurikulum/Isi Pendidikan: Kurikulum
harus bersifat komprehensif yang berisi sains, matematika, ilmu-ilmu
kemanusiaan dan ilmu sosial, serta nilai-nilai. Kurikulum mengandung
unsur-unsur pendidikan liberal dan pendidikan praktis. Kurikulum diorganisasi
menurut mata pelajaran (subject matter) dan berpusat pada materi pelajaran
(subject centered).
Metode: Metode hendaknya bersifat
logis dan psikologis. Pembiasaan merupakan metode utama bagi penganut Realisme.
Peranan Pendidik dan Peserta didik:
Pendidik adalah pengelola kegiatan belajar mengajar (classroom is
teacher-centered). Pendidik harus menguasai keterampilan teknik-teknik
mengajar, dan memiliki kewenangan menuntut prestasi siswa. Sedangkan peserta
didik berperan untuk menguasai pengetahuan, taat pada aturan dan berdisiplin.
Adapun orientasi pendidikan Realisme adalah esensialisme.
3.
Pragmatisme
a. Konsep
Filsafat Umum Pragamatisme
Metafisika: Pragmatisme anti
metafisika. Suatu teori umum tentang kenyataan tidaklah mungkin dan tidak
perlu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik, plural dan berubah
(becoming).
Manusia: manusia adalah hasil
evolusi biologis, psikologis dan sosial. Setiap orang lahir tidak dewas, tidak
berdaya, tanpa dibekali dengan bahasa, keyakinan-keyakinan, gagasan-gagasan
atau norma-norma sosial.
Epistomologi: Pengetahuan yang benar
diperoleh melalui pengalaman dan berpikir (scientific method). Pengetahuan
adalah relative. Pengetahuan yang benar adalah yang berguna dalam kehidupan
(instrumentalisme).
Aksiologi: Ukuran tingkah laku
individual dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman hidup.
Jika hasilnya berguna tingkah laku tersebut adalah baik (eksperimentalisme),
karena itu nilai bersifat relatif dan kondisional.
b. Implikasi
terhadap Pendidikan
Tujuan Pendidikan: Pendidikan adalah
pertumbuhan sepanjang hayat, proses rekonstruksi yang berlangsung terus menerus
dari pengalaman yang terakumulasi dan sebuah proses sosial. Tujuan pendidikan
tidak ditentukan dari luar dan tidak ada tujuan akhir pendidikan. Tujuan
pendidikan adalah memperoleh pengalaman yang berguna untuk mampu memecahkan
masalah-masalah baru dalam kehidupan individu maupun sosial.
Kurikulum/Isi Pendidikan: Kurikulum
berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan
kebutuhan siswa, tidak memisahkan pendidikan liberal dan pendidikan praktis.
Kurikulum mungkin berubah, warisan-warisan sosial dari masa lalu tidak menjadi
focus perhatian. Pendidikan terfokus pada kehidupan yang baik pada saat itu dan
masa datang bagi individu, dan secara bersamaan masyarakat dikembangkan.
Kurikulum bersifat demokratis.
Metode: Mengutamakan metode
pemecahan masalah, penyelidikan, dan penemuan.
Peranan Pendidik dan Peserta didik:
Peranan pendidik adalah memimpin dan membimbing peserta didik belajar tanpa
ikut campur terlalu atas minat dan kebutuhan siswa. Sedangkan peserta didik
berperan sebagai organisme yang rumit yang mampu tumbuh.
Orientasi pendidikan Pragmatisme
adalah progresivisme.
C. Landasan Filsafat Pendidikan Nasional: Pancasila
Pancasila adalah dasar Negara Republik
Indonesia. Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila yang rumusannya termaktub dalam
“Pembukaan” Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena
Pancasila adalah dasar Negara Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga
adalah dasar pendidikan nasional. Hal ini sejalan dengan pasal 2 Undang-Undang
RI No. 23 tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” yang menyatakan
bahwa: “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Mengingat pancasila
adalah falsafah hidup bangsa, maka bangsa Indonesia hakikatnya memiliki
landasan filosofis pendidikan tersendiri dalan sistem pendidikan nasionalnya,
yaitu falsafah pendidikan berdasarkan Pancasila. (Landasan Pendidikan, 2012:
84)
1. Konsep
Filsafat Umum
a. Metafisika
Pidarta (Callahan,
1983:77) menyebutkan bahwa metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang
hakekat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. dalam kaitanya manusia ada dua
pendangan yaitu:
1)
manusia hakekatnya adalah spiritual. yang
ada adalah jiwa atau roh, yang lain adalah semu. pendidikan berkewajiban
membebaskan jiwa dari ikatan semu. pendidikan adalah untuk mengaktualisasi
diri.
2)
manusia adalah organism materi. pendidikan
adalah untuk hidup. pendidikan berkewajiban membuat kehidupan manusia menjadi
menyenangkan.
Hakekat realitas. Bangsa
Indonesia meyakini bahwa realitas atau alam semesta tidaklah ada dengan
sendirinya, melainkan sebagai ciptaan (mahluk) Tuhan yang Maha Esa. Tuhan
adalah sumber pertama dari segala yang ada, ia adalah sebab pertama dari segala
sebab, tetapi ia tidak disebabkan oleh sebab-sebab yang lainnya; dan ia juga
adalah tujuan akhir segala yang ada. (Kurniasih,
2012,:84-85)
Di alam semesta bukan
hanya ralitas fisik atau hanya realitas non fisik yang ada, realitas yang
bersifat fisik dan atau non-fisik tampak dalam pluralitas phenomena alam
semesta sebagai keseluruhan yang integral. Terdapat alam fana dengan segala
isi, nilai, norma atau hukum
di dalamnya. Alam tersebut adalah tempat dan sarana bagi manusia dalam rangka
hidup dan kehidupannya, dalam rangka melaksanakan tugas hidup untuk mencapai
tujuan hidupnya. Di balik itu, terdapat alam akhir yang abadi dimana setelah
mati manusia akan diminta pertanggung jawaban dan menerima imbalan atas
pelaksanaan tugas hidup dari Tuhan YME. Dalam uraian di atas tersurat dan
tersirat makna adanya realitas yang bersifat abadi dan realitas yang bersufat
fana.
Termaktub dalam pembukaan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Kurniasih (2012,:85) mengatakan bahwa hakikat
hidup bangsa Indonesia adalah berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa dan perjuangan yang didorong oleh keinginan luhur
untuk mencapao dan mengisi kemerdekaan. Adapun yang menjadi keinginan luhur
tersebut yaitu: (1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan
makmur; (2) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; (3) memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
(4) ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan social. Dari
pernyataan di atas dapat dipahami
bahwa realitas juga tudak bersifat given (terberi) dan final, melainkan juga “berwujud”
sebagaimana kita manusia dan semua anggota alam semesta berpartisipasi
“mewujudkannya”.
Hakekat manusia. Manusia
adalah mahluk Tuhan YME. Manusia
adalah kesatuan badan rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, memiliki
kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri (self-awareness), mempunyai
berbagai kebutuhan, dibekali naluri dan nafsu, serta memiliki tujuan hidup.
Manusia dibekali potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan
untuk berbuat baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya manusia pun
memiliki kemungkinan untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi
untuk: mampu berpikir (cipta), berperasaan (rasa), berkemauan (karsa), dan
berkarya (karya). Adapun dalam eksistensinya manusia berdimensi individualitas
atau personalitas, sosialitas, kalutural, mora;itas dan religious. Semuanya itu menunjukan dimensi
interaksi atau komunitas (vertikat atau pun horizontal), historistas, dan
dinamika dalam eksistensi manusia.
Kurniasih
(2012,:86) Mengatakan Pancasila mengajarkan bahwa eksistensial
manusia bersifa mono-pluralis tetapi bersifat integral. Artinya bahwa manusia
yang serba dimensi itu hakikatnya adalah satu kesatuan utuh. Pancasila menganut
azas Ketuahanan Yang Maha Esa manusia diyakini sebagai makhluk Tuhan YME,
mendapat panggilan tugas dari-Nya, dan harus mempertanggung jawabkan segala
amal pelaksanaan tugasnya terhadap Tuhan YME (aspek relogius); azas
mono-dualisme: manusia adalah kesatuan badani-rohani, ia adalah pribadi atau individual
tetapi sekaligus insan social; azas mono-pluralisme meyakini keragaman manusia,
baik suku bangsa, budaya, dsb, tetapi adalah satu kesatuan sebagai bangsa
Indonesia (Bhineka Tunggal Ika); azas Nasionalisme: dalam eksistensinya manusia
terikat oleh ruang dan waktu, maka ia mempunyai relasi dengan daerah, zaman,
dan sejarahnya yang di ungkapkan dengan sikapnya mencintai tanah air, nusa, dan
bangsa; azas internasionalisme: manusia Indonesia tidak meniadakan eksistensi
manusia lain baik sebagai pribadi , kelompok atau bangsa lahir; azas demokrasi:
dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama, kesamaan hak dan kewajiban menjadi
dasr hubungan antara warga Negara, dan hubungan antara warga Negara dan Negara
dan sebaliknya; azas keadilan social: dalam merealisasikan diri manusia harus
senantiasa menjunjung tinggi tujuan kepentingan bersama dalam membagi hasil
pembudayaan (BP-7 Pusat, 1995).
b. Epistimologi
Surajiyo
(2008:55) menyimpulkan dalam bukunnya bahwa epistimologi adalah bagian filsafat
yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan. dan senada dengan
Surajiyo, Pidarta (2009:77-78) mengatakan bahwa Epistimologi
ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian
masing-masing sebagai berikut:
1)
Ada lima sumber pengetahuan yaitu:
a) Otoritas,
yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus, dan table
b) Common
sense, yang ada pada adat dan tradisi.
c) Intuisi
yang berkaitan dengan perasaan
d) pikiran
untuk menyimpulkan hasil pengalaman
e) pengalaman
yang terkontrol untuk mendapatkan penngetahuan secara ilmiah
2)
Ada
empat teori kebenaran yaitu:
a) Koheren,
sesuatu akan benar bila ia konsisiten dengan kebenaran umum.
b) Koresponden,
sesuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.
c) Pragmatisme,
sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya member manfaat bagi kehidupan.
d) Skeptivisme,
kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.
3)
Logika ialah filsafat yang membahas
tentang cara manusia berfikir dengan benar.
4)
Etika ialah filsafat ialah yang
menguraikan tentang prilaku manusia. Nilai dan norma masyarakat serta ajaran
agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini.
Hakekat pengetahuan. Segala pengetahuan
hakikatnya bersumber dari sumberpertama yaitu Tuhan YME. Tuhan telah menurunkan
pengetahuan baik melalui utusan-Nya (berupa wahyu) maupun melalui berbagai hal
yang digelarkan-Nya di alam semsta termasuk hokum-hukum yamg terdapat di
dalamnya. Manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui keimanan/kepercayaan,
berpilar
pengalaman, empiris, penghayatan, dan intuisi.
Kebenaran pengetahuan ada
yang bersifat mutlak (seperti dalam pengetahuan keagamaan/revaled knowledge
yang dimani), tetapi ada pula yang bersigat relative (seperti dala pengetahuan
ilmiah sebagau hasil manusia melalui riset, dsb)
Pengetahuan
yang bersifat mutlak (ajaran agama/wahyu Tuhan) diyakini mutlak kebenarannya
atas dasar keimanan kepada Tuhan YME. Pengetahuan yang bersifat relative
(fisafat, sains dll) diakui kebenarannya melalui uji konsistensi logi
ide-idenya, kesesuaiannya dengan data atau fakta empiris, dan nilai kegunaan
praktisnya bagi kesejahteraan mengacu pada kebenaran dan nilai-nilai yang
bersifat mutlak.
c.
Aksiologi
Hakikat Nilai. Simber
pertama segala nilai hakikatnya adalah Tuhan YME. Karena manusia adalah makhluk
Tuhan, pribadi/individual dan sekaligus insan social, maka hakik, ahat nilai
diturunkan dari Tuhan YME. Masyarakat dan individu.
2. Implikasi
terhadap Pendidikan
Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembanngkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, ahlak mulia, serta keteramilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara (pasal 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisitem pendidikan
Nasional).
Implikasi konsep Pendidikan menurut Pidarta ( 2009:106-108)
yang di bawah ini adalah terbatas pada penjabaran sila-sila pancasila.
a. Filsafat pendidikan Indonesia perlu segera
diwujudkan agar pendidikan bercorak Indonesia lebih mudah dibentuk.
b. Peranan dan pengembangan sila-sila Pancasila pada
diri peserta didik pada hakikatnya adalah pengembangan afeksi.
c. Pendidikan pancasila dan
pendidikan agama tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi satu dengan
yang lain.
d. Materi pendidikan afeksi
selain bersumber dari bidang studi yang membahas moral pancasila dan ajaran
agama, sebaiknya dilengkapi dengan nila-nilai dan adat istiadat yang masih
hidup di masyarakat Indonesia serta budi
pekerti luhur yang tetap dijunjung di bumi Indonesia ini.
e. Dalam mengembangkan
materi pendidikan afeksi, sangat mungkin sumber materi itu berasaldari luar
negeri.
f. Dalam rangka pengembangan afeksi peserta didik, ada
baikanya kondisi ke arah itu sehingga itu sengaja diciptakan, antara lain
dengan menghadirkan jauh lebih banyak budaya bangsa sendiri untuk menetralkan
pengaruh budaya asing yang memang sulit
di bendung dalam abad informasi dan global ini.
Sebagai usaha sadar dan
terencana, pendidikan tentunya harus mempunyai dasar dan tujuan yang jelas,
sehingga dengan demikian baik isi pendidikan maupun cara-cara pembelajaran
dipilih, diturunkan akan dilaksanakan dengan mengacu kepada dasar dan tujun
pendidikan yang telah di tetapkan. Selain itu, pendidikan bukanlah prpses
pembentukan peserta didik untuk menjadi orang tertentu sesuai kehendak sepihak
dari pendidik. Karena manusia (peserta didik) hakikatnya adalah pribadi yang
memilih potensi dan memiliki keinginan untuk menjadi dirinya sendiri., mala
upaya pendidikan harus dipandang sebagai upaya bantuan dan memfasilitasi
peserta didik dalam rangka mengembangkan potensi dirinya. Upaya pendidikan
adalah pemberdayaan peserta didik. Hal ini hendaknya tidak dipandang sebagai
upaya dan tujuan yang bersifat individualistiksemata, sebab sebagaimana telah
dikemukakan bahwa kehidupan manusia itu multi dimensi dan merupakan kesatuan
yang integral.
Selain hal di atas, dimensi Hitoritas,
dinamika, perkembangan kebudayaan dan tugas hidup yang diemban manusia
mengimplikasikan bahwa pendidikan harus diselenggarakan sepanjang hayat.
Pendidikan selayaknya diselenggarakan sejak dini, pada setiap tahap
perkembangan hingga akhir hayat. Sebsb itu pendidikan hendaknya diselenggarakan
baik pada jalur pendidikan informal, formal maupun nonformal yang dapat saling
melengkapi dan memperkaya.
Tujuan pendidikan.
Pandangan pancasila tentang hakekat ralitas, manusia, pengetahuan dan hakikat
nilai mengimplikasikan bahwa pendidikan seyogyanya bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
kurikulum pendidikan disusun sesuai dengan
jenjang pendidikan dalam kerangka Negara kesatuan republik Indonesia dengan
memperhatikan:
a) peningkatan
iman dan takwa
b) peningkatan
ahlak mulia
c) peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik
d) keragaman
potensi daerah dan lingkungan
e) tuntutan
pembangunan daerah dan nasional
f) tuntutan
dunia kerja
g) perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
h) agama
i) dinamika
perkembangan global, dan
j) persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
Berbagai metode
pendidikan yang ada merupakan berbagai alternative untuk diaplikasikan.
pemilihan dan aplikasi metode pendidikan hendaknya dilakukan dengan
mempertimbangkan tujuan pendidikan yang hendak dicapai, hakikat manusia dan
peserta didik, karakteristik isi/materi pendidikan, dan fasilitas alat bantu
pendidikan yang tersedia. peranan pendidikan dan peserta didik tersurat dan
tersirat dalam semboyan yang sering kita dengar “ing ngarso sing tulodo”
artinya pendidika harus memberikan atau menjadi teladan bagi pesrta didiknya; “ing
madya mangun karso” artinya pendidik harus mampu membangun karsa pada diri
peserta didiknya; dan “tut wuri handayani” arinya bahwa sepanjang tidak
berbahaya harus member kebebasan atau
kesempatan kepada peserta didik untuk belajar mandiri.
Pendidkan memiliki dua
fungsi utama, yaitu fungsi konservasi dan fungsi kreasi. fungsi konservasi ini
dilandasi asumsi bahwa terdapat nilai-nilai, pengetahuan norma,
kebiasan-kebiasaan, dsbyang dijunngjung tingggi dan dipandang berharga untuk
tetap dipertahankan.
EmoticonEmoticon